Selasa, September 11, 2007

” OJO DUMEH ”

Alatief Hanan

Ingatlah, sesungguhnya mereka, adalah kalangan yang melakukan pengrusakan (di muka bumi), tetapi mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan pada mereka, “Berimanlah! sebagaimana orang-orang beriman,” mereka mengatakan, “Apakah kami beriman sebagaimana yang dilakukan orang-orang bodoh ?”. Ingatlah! sesungguhnya mereka itu, adalah golongan bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (Surat Al- Baqarah Ayat 12)

Falsafah jawa ”ojo dumeh” (jangan mentang-mentang), merupakan salah satu dari tiga falasafah jawa —ojo gumunan, ojo kagetan dan ojo dumeh— yang biasanya menjadi falsafah kehidupan yang utama bagi masyarakat jawa mulai dari kanak-kanak sampai masa tuanya [salah satu pendapat, ajaran ini merupakan Ideologi Gado-Gado Marhaenisme Soekarno, Vatikan & Khilafah Utsmani, namun falsafah ini lebih kepada bentuk sinkretisme teologi (ajaran) Islam, Hindu-Budha dan Jawa].

Masyarakat jawa, telah dikenalkan falsafah ini sejak kecil, setelah mereka mengenal lingkngan. Biasanya, orang tua akan selalu me-wanti-wanti (menasehati) kepada anak ketika akan keluar dan bermain dengan teman sepermainannya dengan kata-kata ”ojo dumeh”. Maksud si orang tua antara lain agar anaknya tidak mentang-mentang terhadap teman sepermainan, dan selalu menghargai teman atau orang lain,

Ketika anak menginjak dewasa, kata-kata (falsafah) itu juga akan selalu disampaikan, sampai anak berumah tangga dan ketika anaknya akan memasuki dunia persaingan hidup.

Memang tidak mudah merefleksikan falsafah ”ojo dumeh” (jangan mentang-mentang) dalam kehidupan, banyak hal yang sering mengakibatkan selalu akan berbuat dan berlaku mentang-mentang. Manusia diciptakan dengan konsekuesi melalui tiga proses, yaitu selalu tidak puas, dan ini yang akan menjadi titik awal sifat egois dan kemudian bersinarlah sifat mentang-mentang (kejam).

Apabila manusia tidak dapat mengendalikan ketiga proses tersebut, dan tiga proses ini bejalan mulus, maka rusaklah kehidupan diri manusia, dan lingkungan. Beberapa tragedi jatuh bangunnya pribadi dan lingkungan berasal dari puncak proses prilaku yaitu setelah manusia sampai kepada tindakan mentang-mentang. Beberapa sejarah rusaknya suatu pemerintahan, perkantoran, perusahaan dan organisasi kemasyarakatan hancur lebur disebabkan pemimpinnya mentang-mentang, bengis dan kejam, sehingga dalam pengambilan keputusan tidak dapat berlaku yang semestinya.

Prilaku mentang-mentang memang membahayakan, yang paling mengkhawatirkan adalah apabila dilakukan oleh para prilaku pemerintahan, seperti, pejabat dan karyawan kantor yang memiliki pekerjaan pelayanan kepada masyarakat. Walaupun tipologi para pemimpin secara teori terlahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial (zoon politicon) yang sangat tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhannya (homo sapiens).

Untuk mereduksi hal-hal itu, beberapa teori aplikatif tentang cara menjadi pemimpin, selalu berdasar pada ajaran-ajaran agama. Hal itu didasari oleh keyakinan bahwa pemimpim yang baik tidak akan meninggalkan ideologi keagamaan —apapun agamanya—, karena dengan berbekal agama maka —paling tidak— terjagalah moralnya. Ada dua unsur penting yang harus di’lakoni’ (dijalani) dalam memimpin agar kepemimpinannya diakui secara positif, yaitu jujur dan adil.

Term kepemimpinan itu akan lebih baik jika selalu mendampingkan sifat naluriah (individu) dengan sifat dasar yang telah diberikan oleh Allah SWT. Sebagai individu yang selalu tergantung kepada orang lain dan selalu akan memenuhi kebutuhannya, maka ketika menjadi seorang pemimpin tetap harus belaku jujur dan adil.

Jujur dan adil memang tidak mudah, tapi harus. Pada saat pemimpin mampu berbuat jujur dan adil maka akan hilanglah sifat mentang-mentang. Sifat mentang-mentang ini sering terjadi ketika orang tidak mampu merefleksikan gaya kepemimpinan yang baik, tanggung jawabnya setengah ’hati’, cara berpikirnya sempit, tidak berusaha belajar dan menambah ilmu pengetahuan, sulit berinteraksi dan memahami pendapat orang lain, mempunyai keinginan benar sendiri dan menang sendiri.

Begitu juga sebagai anak buah, sifat mentang-mentang itupun bisa terjadi, biasanya timbul tidak kooperatif terhadap pimpinannya, lebih banyak mengandalkan egoisme, pingin berkuasa, suka menyalahkan atasannya, merasa kerjanya cepat, pemahaman lebih, lebih pintar dan suka mengerjakan yang bukan pekerjaannya [untuk edukasi dalam falsafah jawa di kenal : Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi] .
Norma yang menganjurkan jangan berlaku mentang-mentang, seharusnya sudah menjadi inti cara hidup seorang pejabat maupun karyawan, agar dalam menjalankan tugasnya benar-benar lurus tanpa menghilangkan sifat alami sebagai makhluk sosial dan mahkluk yang berkeinginan untuk maju.
Konsep itu hanya bisa dilakukan apabila pejabat atau pegawai memiliki ilmu pengetahuan dan bekerja berdasar kepada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak dapat datang begitu saja, masih harus di cari dan diupayakan dengan niat dan semangat yang tidak kenal putus asa.

Dalam Islam, seseorang yang ingin memiliki ilmu pengetahuan, maka harus dapat mengaplikasikan dan merefleksikan kehidupannya antara ilmu dan iman. Orang yang memiliki ilmu namun tidak beriman, maka akan celaka di akhirat, begitu juga orang yang beriman namun tidak berilmu niscaya akan sengsara hidupnya di dunia.

Iman dan ilmu, harus dimiliki oleh manusia secara seimbang. Manusia yang tak seimbang akan mengalami pribadi yang pecah (split personality), yang mengakibatkan orang tersebut akan hidup dengan bengis, kejam (mentang-mentang) terhadap orang lain dan akan membahayakan bagi keselamatan lingkungan. Oleh karena itu, perlu diusahakan setiap orang adalah iman dan ilmunya berinteraksi secara seimbang (in dynamic equilibrium) .[‘Imaduddin ‘Abdulrahim, M. 1995].

Lebih utama lagi, ketika manusia mampu memahami ilmu, iman dan ibadah menjadi satu kesatuan dalam menjalankan kehidupan, baik pada lingkungan masyarakat maupun organisasi.

Sebagaimana dalam ajaran Imam Al Ghazali, bahwa setiap orang itu jangan mengerjakan sesuatu melainkan ilmu dan ibadah.
Jangan kita mempergunakan otak kita selain ilmu dan ibadah, pusatkan perhatian kita pada ilmu dan ibadah, maka kita akan tegar dan berhasil.
Jangan banyak berfikir, berfikirlah satu, yaitu ilmu dan ibadah, maka kita akan sukses.
Yang selain ilmu dan ibadah adalah batil, sesat dan akan menghancurkan dunia. [Imam Al Ghazali : dalam kitab Minhajul ‘Abidin]

Falsafah hidup ini —Islam dan Jawa— sama sekali tidak akan menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang wajib —kalo boleh penulis menganjurkan— di pahami oleh pejabat, anak buah dan seluruh jajaran di lingkungan Departemen Agama RI, untuk menjaga citra lembaga yang kita cintai ini.

Konsentrasi yang ditimbulkan oleh pribadi yang mampu mengamalkan falasafah itu akan nampak pada beberapa cara menghadapi lingkungannya, antara lain :

Pertama : selalu berfikir positif kepada orang lain. Ketika kita mengahdapi orang lain, maka ada dua hal yang akan terbesit pada otak kita, orang yang dihadapi adalah orang baik atau orang jahat. Apabila kita mampu mengedepankan ilmu pengetahuaan kita, maka keputusannya adalah bahwa orang itu orang baik, kita hanya mampu memahami apabila memang orang tersebut telah berbuat negatif dengan bukti-bukti yang kuat. Hargailah pendapat orang lain, jangan dibantah omongannya (walaupun salah) di depan orang lain, jangan dihina, di cerca dan jangan di caci maki.

Kedua : selalu bersyukur. Pada saat kita mendapat kemudahan dan kesusahan cobalah selalu bersyukur. Ketika hasil karya dan pendapat kita mampu dipahami dan dipakai, maka bersyukurlah, begitu juga pada giliran pendapat dan hasil karya kita tidak mampu dipahami orang lain, berbesar hatilah dan bersyukurlah [paling tidak kita telah mampu menyampaikan pendapat kita].

Ketiga : mampu mentransformasikan harga diri. Utamakan harga diri orang lain, jangan sekali-kali mengedepankan harga diri kita. Pada saat seseorang harga dirinya jatuh, cobalah untuk memberikan semangat. Jangan menggurui dan mendemonstrasi pimpinan dengan cara yang akan mengakibatkan jatuhnya harga dirinya.

Marilah kita sama-sama memulai dan mencoba untuk tidak mentang-mentang, ketika jadi pejabat jangan ’sok’ dan memanfaatkan jabatannya, ketika sedang ada di atas jangan sia-siakan yang di bawah, ketika kita jadi bawahan jangan vulgar dan menggurui atasan, ketika memiliki kewenangan jangan sewenang-wenang.

MASIH BANYAK YANG LEBIH HEBAT DARI KITA. Dalam kehidupan ini, lebih banyak yang tidak suka dengan kita dari pada yang suka pada
kita.

Tidak ada komentar: