Kamis, Juli 17, 2008

MUHAMMAD AZKA MUFTHI




WAWANCARA IMAJINER DENGAN ADOLF HITLER



ADOLFT HITLER : “Memang sih, saya sangat suka dengan komunitas sepeda motor di Idonesia “
Adolf Hitler, adalah kanselir Jerman yang dilahirkan pada tahun 20 April 1889, dan berkuasa dari tahun 1933 hingga sebelum 1945, sedangkan meninggal pada tahun 30 April 1945.

Pada kesempatan yang tidak terduga, kami dapat mewawancarai beliau (Adolft Hitler) berkaitan dengan maraknya komunitas pengendara sepeda motor di tanah air, yang masing-masing membawa bendera berbeda-beda, dengan visi yang hampir sama, yaitu memberikan manfaat kepada pengendara sepeda motor lain.

Visi tersebut, memang serupa dengan visi Adolf Hitler tatkala bilau berkuasa, yaitu menyatukan dunia, tentunya dengan kekuasaaan Adolft Hitler, visi Adolf Hitler memang tidak salah, karena visi menunjukkan mimpi yang memang sulit menjadi kenyataan, kecuali dibarengi dengan misi yang sempurna, kesalahan Hitler terletak pada cara beliau menjadikan mimpi menjadi kenyataan, yaitu dengan kekerangan dan kebengisan. Akan tetapi, di sisi lain Hitler memiliki hati yang ’cukup’ baik, paling tidak pada garapan memanfaatkan kendaraan roda dua sebagai bagian dari kendaraan penyerangan darat yang cukup ampuh. Dan hasil wawancara selama dua jam, selengkapnya sebagaimana dibawah ini.

Nasduk (sebagai pewawancara yang kemudian disingkat N) : ” Sejak kapan Bro Hitler menyukai kendaraan roda dua ”.

Hitler (sebagai yang ditanya, kemudia disingkat H) : ”Saya menyukai kendaraan roda dua sejak usia lima belas tahun, yang waktu itu di jerman lagi maraknya kendaraan roda dua lansiran Amerika, seperti Harley Davidson, BSA dan AJS, karena orang tua saya juga sangat hobi akan kendaraaan darat itu, apalagi di desa saya Braunau am Inn, Austria diselatan Jerman merupakan daerah berpasir, dan ayah saya (Aloi Hitler) suka mengajak saya dan saudara kandung saya ke persawahan dengan menunggang kendaraan roda dua”.

N : ”Selain untuk ke persawahan, pengalaman menunggang kendaraan roda dua kemana saja Bro”.

H : ”Setelah ayah saya pensiun, saya dan keluarga pindah ke kota Lambach, dan kesempatan itu juga dilakukan dengan mengendarai kendaraan roda dua yang dtambah sespan (tumpangan samping, mirip bentor di Medan), nah sejak itu saya dan keluarga merasakan awal dari kehidupan yg terus berpindah-pindah di masa pensiun ayah”.

N : ”Sampai kapan Bro Hitler hidup berpindah-pindah dengan menggunakan sepeda motor roda dua”.

H : ”Sampai hampir dewasa bro, tetapi ketika beranjak dewasa, karena saya memiliki cita-cita ingin menjadi seorang seniman, dengan jerih payah saya membeli kendaraan roda dua yang saya dandani benar-benar nyentrik, bahkan pada saat saya mengikuti ujian masuk perguruan tinggi seni di Wina, Austria kemanapun saya pergi menggunakan sepeda motor roda dua, namun saya gagal masuk di perguruan tinggi itu, bahkan saya pernah menjadi seorang tunawisma di kota Wina”.

N : ”Apa yang anda ketahui tentang komunitas pengendara sepeda motor saat ini”.

H : ”Pada masa saya, komunitas pengendara sepeda motor menjadi agen pengantar pesan atau misi, karena jumlahnya cukup banyak maka komunitas mirip pasukan Infantri Resimen Bavaria ke-16. Pernah ada cerita begini, suatu kali resimennya bertemu pasukan Inggris dan Belgia di dekat Ieper, resimennya kehilangan 2.500 dari 3.000 orang yang semuanya menggunakan kendaraan sepeda motor roda dua, tewas, luka-luka atau hilang, tetapi saya (Adolf Hitler) lolos tanpa luka sedikitpun karena sepeda motor saya saya lengkapi dengan berbagai keperluan safety riding, dan beberapa kali saya berdiri di satu tempat dan kemudian berpindah ke tempat lain untuk melihat pasukan infanteri masih ada yang selamat atau tidak, beberapa detik kemudian saya berpindah tempat dengan menggunakan sepeda motor itu, karena saya takut kena pecahan mortir, itu terjadi di Kota Somme. Nah saya melihat komunitas kendaraan sepeda motor yang ada di Indoensia sekarang memang memiliki hampir ribuan anggota, kalau sedang melakukan sarasehan mirip kumpulan resimen”.

N : ”Jadi Bro Hitler paham tentang safety riding ya”.

H : “Sangat pahamlah, karena sejak kecil saya diajarkan untuk selalu melengkapi kendaraan saya agar terjamin keselamatan saya, dan pengendaranya, bahkan salah satu sumbangan saya dalam dunia otomotif adalah usulannya untuk membuat kenderaan murah, terjangkau oleh rakyat Jerman serta aman dikendarai, yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk mobil Volkwagen”.

N : ”Apa pesan Bro Hitler untuk komunitas sepeda motor di Indoensia”.

H : ”Begini ya, tapi ini mirip sebuah cerita, semoga bermanfaat deh, pertama: siapkan sepeda motor anda, jangan berperang dengan pedang yg rusak, makanya periksa motor anda sebelum mulai berkendara, kalo ada suku cadang yang perlu diganti, jangan menunggu, gantilah kalo ada yg perlu diperbaiki langsung perbaiki jangan pernah menganggap enteng masalah-masalah yg ditemukan karena bukan cuma akan mengganggu proses perjalanan tapi juga bisa membahayakan keselamatan;
kedua: gunakan pelindung diri entah itu helem, jaket, sarung tangan, sepatu, dll, jangan pernah tidak peduli dengan penggunaan hal-hal tersebut anda tidak pernah tau, bagian tubuh mana yang akan cidera saat terjadi kecelakaan dan anda tidak pernah tau kapan kecelakaan akan terjadi, jadi.. lindungi diri anda dari kepala sampai kaki;
ketiga : berusahalah untuk gampang terlihat, pakailah perlengkapan yang gampang terlihat lebih baik lagi bila bisa merefleksikan cahaya (flourescent) begitu juga dengan warna dari bagian-bagian motor ini akan membantu anda untuk gampang terlihat oleh pengguna jalan lain;
keempat: jaga jarak selalu, jaga agar ada jarak aman di sekeliling motor bukan cuma untuk menjaga bila kendaraan di depan dan di sekeliling tiba-tiba berhenti tapi juga untuk menghindari road hazzard yang tiba-tiba muncul karena sebelumnya tak terlihat;
kelima: bersiap menghadapi kecelakaan setiap kali berkendara, bersiaplah menghadapi segala kemungkinan terburuk termasuk kecelakaan dengan konsep ini, anda akan lebih berhati-hati dan akan berkendara secara defensive, berhat-hatiilah di setiap belokan, persimpangan, lalu lintas dari arah berlawanan, dan tempat-tempat ramai yang dilewati (pasar, sekolah, dll);
keenam: bila mungkin, hindari berkendara di malam hari, ya betul, di siang hari saja, motor relatif lebih sulit terlihat apalagi di malam hari;
ketujuh: ride your own ride jangan coba berkendara untuk gaya-gayaan jangan juga untuk membuat orang terkagum-kagum, sadari kemampuan diri, dan selalu ingat untuk memprioritaskan keselamatan bukan yang lain, jangan pernah berhenti menjadi berkendara dng santun, tertib, aman, dan nyaman kampanyekan terus cara-cara berkendara yang lebih defensif dan elegan”.

N : “Waduh, nampaknya anda cukup simpati pada keselamatan orang lain, tapi jawaban saudara kok mirip milis di websitenya Komunitas Honda Tiger Miling List di Indonesia sih”.

H : “Memang sih, saya sangat suka dengan komunitas sepeda motor di Idonesia, saya tau ada MTML, DETIC, Motor Tiger Jakarta, dan komunitas lain, bahkan yang paling baru dan websitenya masih berbentuk blogspot pun saya tau, yaitu NOLIMIT BIKER’S COMMUNITY”.

N : “Apa pesan Bro Hitler sebelum anda kembali ke alam Sunyaragi (maksud penanya ’alam kubur’)”.

H : “Oke, saya hanya berpesan, bersatulah para komunitas pengendara sepeda motor di Indonesia, bantulah pengendara lain pada saat ada kesusahan di perjalanan, jaya HTML, dan saya juga mengucapkan selamat ulang tahun yang ke tiga kepada Depok Tiger Club, semoga sukses selalu, dan titip salam buat rekan-rekan NOLIMIT BIKER’S COMMUNITY, cobalah selalu minta nasehat kepada komunitas yang lebih senior dalam hal safety riding”.

N : “Terima kasih Bro Hitler”.
Setelah Hitler menghilang, saya terbangun dan terperanjat, ternyata saya masih di bawah pohon beringin di alun-alun Selatan (alun-alun Kecil) Jogjakarta.

Selasa, Juli 15, 2008

NAILA QONITA ZUHDI


PAWANG

Konon, menurut sejarah hingga saat ini, keberadaan pawang masih sering dibutuhkan. Terlebih lagi, kepiawaian pawang merupakan pekerjaan yang dianggap spesialis, karena dia memiliki kekhususan (’hulul’, aliran, inkarnasi), sehingga tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, sekalipun orang tersebut dianggap ’mumpuni’.

Di pasaran, paling tidak ada 3 kategori ilmu pawang, yaitu; Pertama, pawang ’mongso’ (cuaca, udara dan angin), biasanya memiliki pekerjaan dalam kaitan arah angin, misalnya merubah (menolak) arah angin yang membawa hujan atau mendatangkan hujan, Kedua, pawang ’lemah’ (tanah), memiliki kelebihan pekerjaan yang berhubungan dengan mahluk yang berpijak tanah, misalnya orang dan hewan, Ketiga, pawang bumi, pekerjaannya bersentuhan dengan tingkah laku bumi, misalnya pegunungan dan lautan.

Dalam ilmu kanuragan jawa, istilah pawang berasal dari bahasa jawa, sinonim dari ’papane neng lawang’, hal itu digunakan karena seorang pawang biasanya posisinya –untuk menjaga- di pintu depan. Protap seorang untuk menjadi pawang harus melalui dua tahap, yaitu tahap lahir dan batin, sedangkan tahap lahir, antara lain: sujud (salat), poso/puasa, zarah/ziarah (termasuk ziarah kubur dan naik haji), sodaqoh/sedekah (membayar zakat dan wakaf), sedangkan tahap batin, antara lain: tidak boleh takabbur, yang terimplikasi kedalam tingkah laku tawadu’, banyak dzikir (dzikrul minnah) dan semua ibadah batin.

Pawang lebih mempratikkan ibadah batin, diantaranya tawakkal, karena menurut para pawang, tawakkal merupakan bukti dan percaya kepada Allah SWT, dalam segala urusan yang kita khawatirkan (la khaula wal quwwata illa billah), kita serahkan kepada Allah SWT. (baca : Minhajul ’Abidin, Imam Ghazali)

Maka, ketawakkalan pawang, mereka selalu menghindari sifat-sifat riya’ (menyombongkan diri), karena menurut ’wejangan’ para pawang pendahulunya riya’ merupakan perbuatan pura-pura (sebenarnya tidak bisa tetapi pura-pura bisa) dan ingin dipuji oleh manusia. Buktinya, tidak ada pawang hebat yang menggunakan media iklan, baik cetak maupun elektronik, pawang yang menggunakan media iklan berarti pawang yang tidak ’mumpuni’ dan tidak percaya diri.

Setelah mendapat order, seorang pawang akan selalu membentengi (menjaga) nasabahnya secara langsung (full bodyguard contact), sehingga si-nasabah akan selalu aman dari mara bahaya yang mengancam dirinya. Kemanapun si-nasabah pergi, si-pawang akan selalu memonitor setiap saat. Akan tetapi, sesuai perkembangan zaman, ada beberapa pawang yang tidak melakukan penjagaan secara langsung, pawang yang telah memiliki strategi pelayanan maju, penjagaannya kepada si-nasabah cukup diwakilkan oleh media, baik berupa benda atau mahluk-mahluk halus peliharaannya.

Memang penggunaan pawang tidak terbatas, apapun agamanya, apapun jenisnya, tingkatan atau struktur kehidupannya, pegawai rendahan, pejabat pemerintah, mereka ingin aman dan berkah dari si-pawang.

Pada masa orde baru, penggunaan pawang hampir bisa dikatakan hal yang umum. Semua event, dan perhelatan yang dilaksanakan selalu memanfaatkan pawang. Untuk pelaksanaan peresmian-peresmian oleh kepala negara, agar tidak terjadi hujan, maka disiapkan pawang hujan sebanyak-banyaknya. Sedangkan untuk acara panen padi masal oleh petani dan pemotongan padinya dilakukan oleh kepala negara, maka selain pawang penolak hujan juga disiapkan pawang penolak ular dan hewan-hewan yang dapat membahayakan kepala negara.

Dinamika kehidupan religius terkadang tidak bisa ditebak, terlebih pada kultur tradisional konvensional, menurut cerita, hampir setiap perhelatan sejenis musabaqoh tilawatil qur’an-pun, tetap saja menggunakan pawang, agar acara tetap meriah dan tidak porak-poranda karena datangnya hujan dan berkeliarannya hewan-hewan melata berbisa.

Pada MTQ pekan lalu di Banten, menurut seorang pengunjung yang berasal dari kota Serang, dalam perhelatan tersebut, telah disiapkan lebih dari lima belas pawang dari berbagai disiplin ilmu, misalnya pawang hujan, sehingga arah angin yang membawa hujan disekitar acara bisa dipastikan berbelok dan mencari tempat yang lebih mementingkan air hujan, karena seandainya air hujan itu turun di arena MTQ, maka suasana akan berubah, hal itu dimungkinkan karena ada beberapa peralatan yang tidak boleh tergenang air, misalnya listrik dan soundsystem pendukung, yang merepotkan lagi disekitar lokasi pameran akan terjadi ’becek’ besar-besaran, pawang lain adalah pawang hewan, untuk mengusir hewan, seperti ular, karena lokasi MTQ merupakan lokasi yang dahulunya lahan kosong dan persawahan.

Fenomena pawang memang tidak bisa di-klaim oleh kultur tertentu, karena pawang sudah menjadi milik bangsa, milik tradisi masyarakat, dan milik adat-istiadat bangsa yang ber-bhineka tunggal eka ini, akan tetapi yang lebih penting, pawang jangan dijadikan alat untuk menjauhkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, karena sekali kita terjebak kepada kekufuran maka kita akan menuju kekafiran. Paling tidak kita memahami(Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia dan Agama; Murtadha Muthahhari, 1984), manusia dilahirkan sebagai mahluk sosial, hidup mesti dibagi dengan orang lain yang berperan serta di dalam semua tugas dan kreatifitasnya, dan sejenis pembagian kerja mesti ditetapkan di antara mereka sebagaimana yang terjadi pada mahluk hidup lainnya. Sehingga, anggap saja fungsi pawang sebagai seorang yang kreatif.

M. NAKIP

UPAYA MEMBUMIKAN AL QUR'AN


Dalam sela-sela perlombaan MTQ, selain diadakan lomba-lomba diluar materi MTQ seperti kaligrafi dan lomba budaya Islami, panitia juga menyelanggarakan Diskusi Publik, pada hari Kamis, tanggal 19 Juni 2008, di Gedung DPRD Propinsi Banten. Diskusi tersebut melibatkan beberapa cendekiawan muslim dan ahli dalam bidang Al Qur’an, antara lain M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA, serta Ditjen Bimas Islam Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA.

Peserta diskusi yang memadati ruang DPRD terdiri dari para akademisi, official kafilah bahkan beberapa anggota dewan hakim. Dalam orasinya, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar mengatakan bahwa : “Al Qur’an adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan”. Universalitas Al Qur’an secara substansi seharusnya mampu menjadi rahmat bagi umat manusia di alam semesta, tanpa kecuali, tambahnya.

Nilai-nilai universalitas yang dimaksudkan adalah, karena Al Qur’an diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia ketika diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman, selain itu, nilai-nilai dasar Al Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif, disamping itu, tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan makhluk-makhluk sosial, sedangkan eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern, sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam.

Penyelenggaraan MTQ ini, merupakan upaya-upaya pembelajaran yang terarah dan sistematis di dalam masyarakt agar nilai-nilai Al Qur’an hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan nilai-nilai Al Qur’an sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-nilai lokal dan universal di dalamnya, demikian Ditjen Bimas Islam menjelaskan pentingnya diadakannya MTQ.

Diskusi Publik memang menjadi acara yang sangat menarik disela-sela lomba MTQ, banyak hadirin yang terpukau dengan penjelasan ilmiah para pembicara, bahkan menurut pengunjung berasal dari Popinsi Jawa Timur, justru tidak perlu dan tidak mampu lagi untuk menyampaikan pertanyaan, hal itu dikarenakan orasi yang sangat komplit, komentar pengunjung itu.



Ditjen Bimas Islam juga mengutarakan bahwa makna membumikan Al Qur’an merupakan keniscayaan, karena sebagai kitab suci terakhir, Al Qur’an menerobos perkembangan zaman, melintas batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik, hal itu dikarenakan memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia, karena di mana terdapat kemaslahatan di situ ditemukan tuntunan Al Qur’an dan di mana terdapat tuntunan Al Qur’an di situ terdapat kemaslahatan. (ala/bi)

H. WAHYU WIBOWO, S.Kom





HALAQOH DI PINGGIR EMPANG
Perhelatan MTQ XXII tidak saja bisa menjadikan ajang silaturahmi antar kafilah, tetapi bisa antar panitia. Di propinsi Banten kemarin, dua kelompok panitia pameran di ajang MTQ bertemu kembali, setelah selama setahun mereka berpisah, diakibatkan adanya PMA tentang pemisahan Ditjen Bimas Islam dan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU).

Karena masing-masing harus mencari ’pemondokan’ untuk panitia pameran selama di Banten, kedua kepanitiaan pameran terpisah cukup jauh. Ditjen Bimas Islam berada di hotel Mandria, sekitaran alun-alun Banten, sedangkan Ditjen PHU bertempat di desa Petir, diperkirakan jaraknya mencapai 8 km.

Sore itu, setelah masing-masing pergantian sift, serombongan panitia pameran Ditjen Bmas Islam yang terdiri dari H. Wahyu Wibowo, S.Kom, H. Aswanto, H. Maskur, S,Ag dan Alatief bersilaturahmi ke ’pemondolan’ panitia pameran Ditjen PHU. Kedatangannya, disambut oleh H. Achmad Nidjam, Kasubag TU Dityanhaj, H. Wahyu Wibowo, staf Direktorat SIH, H. Jimmy, staf Kanwil Banten, dan beberapa staf Sekretariat Ditjen PHU. Pertemuan sore itu menjadi menarik ketika dilanjutkan dengan ’halaqoh’ di pinggir empang tempat pemancingan.

Halaqoh (kelompok bincang-bincang/diskusi;-red) yang pada awalnya tidak memfokuskan tema, berkembang menjadi serius setelah secara tidak sengaja pembicaraan mengerucut dengan tema revitalisasi KUA, dan sinergitas pengembangan sistem informasi teknologi dengan medan garapan KUA. Hal itu dianggap penting, karena pada tahun 2008 ini Ditjen PHU juga mengembangkan fungsi KUA sebagai penyuluh haji, berarti, terjadi kesatuan tugas dan fungsi di level tingkat kecamatan, demikian Wahyu Wibowo berargumentasi.

Menurut H. Achmad Nidjam, Kasubag TU Dityanhaj, memang pada dasarnya KUA cukup strategis dalam memberikan pelayanan umat Islam di kecamatan, untuk itu, ke depannya selain sebagai penyuluh haji, KUA juga bisa dioptimalkan sebagai ujung tombak pendataan jamaah haji, bahkan ada kemungkinan pendaftaran haji bisa dilakukan di KUA, sehingga mempermudah calon jamaah haji, khususnya calhaj di pedesaan, jelasnya.

Kalau melihat adanya kepentingan bersama untuk memberikan pelayanan kepada umat Islam, justru bisa dimungkinkan optimalisasinya melalui sinergitas pengembangan sistem informasi teknologi, demikian H. Wahyu Utomo menjelaskan.

”Gampangnya begini, Ditjen PHU menyiapkan infrastruktur jaringan online sampai KUA, karena Ditjen PHU memiliki anggaran dan dana yang cukup banyak, kemudian masing-masing unit diberikan kapling untuk pelayanan sesuai dengan bisnis prosesnya, misalnya Dityanhaj untuk proses SISKOHAT dan pernak-perniknya, Direktorat SIH, untuk proses pengendalian BPIH dan lain-lain, Sekretairat Ditjen PHU untuk proses pendataan dan informasi, Ditjen Bimas Islam untuk proses SIMKAH, Wakaf, Zakat dan penyebaran informasinya, saya rasa dengan sistem yang sinergi dan adanya kesepahaman bersama, pekerjaan kita lebih menarik dan terjalin ukhuwah Islamiyah yang semakin mantap”, jelas Wahyu Utomo.

”Memang, menurut pendapat saya, bimbingan umat Islam seharunya dapat disatukan, mosok rukun Islam yang lima secara literal berurutan dan tidak terpisah-pisah, setelah masuk di birokrasi dipecah-pecah, yang lucu lagi ibadah hajinya dipisah sendiri, yang kaitan dengan pembinaan syariah, zakat, wakaf diborongkan ke Ditjen Bimas Islam, kayaknya sistem pengorganisasian dan tata laksananya (ortala;-red) kurang paham”, demikian komentar H. Jimmy.

”Kita sebagai pegawai jangan menengok kebelakang, tapi yang penting kita coba berfikir ke depan, bagaimana kita sama-sama memikirkan cara memberikan pelayanan kepada umat Islam secara optimal”, jelas Achmad Nidjam.

”Kalau kita yang dibawah sudah mempunyai kesepahaman sinergitas pelayanan kepada umat Islam, saya kira sekat-sekat organisasi sudah tidak lagi menjadi kendala, apalagi Ditjen Bimas Islam dan Ditjen PHU pernah jadi satu atap, maka tidak msutahil revitalisasi KUA bisa dilaksanakan bersama dengan mengoptimalkan sistem informasi teknologi yang ada”, tambah Achmad Nidjam.

”Kalau gitu, kapan-kapan kita perlu ’jagongan’ lagi pak Nidjam, barangkali bisa merumuskan pengembangan sistek yang lebih detail”, H. Wahyu Utomo menambahkan.




Halaqoh, jagongan, diskusi, bincang-bincang bebas memang perlu, paling tidak akan menambah wawasan dan tambah ilmu, yang penting jangan segan-segan mencari ilmu kepada orang lain. (bowo/bi)

ONTOLOGI “SAYYIDDIN PANATAGAMA”


Tanggungjawab siapa apabila suatu budaya tiba-tiba berubah dan hilang ditelan zaman, kemudian mengubah cara hidup dan budaya masyarakat, yang menyedihkan lagi, menjadikan tipisnya kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya.

Kebudayaan, pada kenyataannya mampu membentengi seluruh dinamika baik buruknya kehidupan masyarakat. Tempo dulu, kebudayaan ditata sedemikian ’apik’ dan terstruktur, mulai dari bawah hingga paling atas. Islam jawa, salah satu contohnya. Kasultanan jawa yang islami menanamkan idiologi –agama Islam- kepada masyarakatnya dengan keberanian menyematkan label Sayyiddin Panatagama di depan nama.

Sayyiddin Panatagama, pada nama depan raja-raja memberi makna dalam dan penting. Masyarakat akan merasa bangga apabila pemimpinnya telah mendapat sebutan Sayyiddin Panatagma –mungkin realita politiknya hampir mirip penyematan identitas haji kepada pemimpin yang telah menunaikan ibadah haji-, yang berarti ’bapak yang mampu menata (memimpin) dengan ketentuan agama’, alih-alih dengan itu semua ada harapan bahwa pemimpinnya akan mampu berbuat adil dan arif bijaksana.

Budaya kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya memang bisa didapat atas dasar menyesuaikan diri dengan kebudayaan tempat dilahirkan atau dibesarkan serta cara memimpin. Fenomena tersebut tidak terselubung, akan tetapi karena kemajuan pemikiran dan kebiasaan yang telah mendarah daging bisa menjadi tolok ukur keberhasilan penanaman idiologi oleh pemimpinnya. Salah satu bukti, seperti yang teorikan oleh Clifford Geertz, yaitu “fabric of meaning in terms of which social interactions take place”.

Ajaran turun temurun para raja (sultan) untuk memberi predikat Sayyiddin Panatagama paling tidak atas dasar beberapa pertimbangan informal, melalui kontrol kebudayaan, diantaranya adalah, jauh dari iri hati, tidak memiliki kesukaan menceritakan kejelakan orang lain (gossip), atau kebiasaan ngerasanin, suka menjauhi orang yang tidak disukai dalam pergaulan (mirip : cekal atau mengucilkan).

Atas dasar tersebut di atas, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan kasultanan –pada saat raja-raja tempo dulu- menyangkut otensititas raja yang telah mendapat predikat Sayyiddin Panatagama, bahkan para kasultanan yang belum memeluk agama Islam yang obyektif juga mengakui bahwa sultan-sultan dengan gelar Sayyiddin Panatagama mampu mengayomi dengan jujur, adil dan arif bijaksana kepada seluruh kerajaan kecil.

Satu kelemahan, sekaligus menjadikan satu kekuatan, Sayyiddin Panatagama saat itu lebih banyak mengandalkan hafalan agama dibandingkan dengan pemahaman keilmuan yang dihasilkan dari banyaknya membaca kitab-kitab ajaran Islam, hal itu disebabkan masih langkanya para sultan yang menuntut ilmu ke negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan Islam diluar yang lebih maju.

Kendati demikian, kehandalan Sayyiddin Panatagama untuk mengurus kasultanan (kerajaan) tidak perlu diragukan, mereka mampu mewarnai masyarakatnya secara total. Sayyiddin Panatagama dapat memahami masyarakatnya mampu mempelajari kebudayaannya yang telah ditanamkan melalui pengenalan terhadap masyarakat itu sendiri, yang juga diperoleh melalui pergaulan, partisipasi untuk memahami kebudayaannya dengan lebih baik.
Jaminan Sayyiddin Panatagama sudah tidak tampak lagi pada era sekarang. Para pemimpin dewasa ini tergerus kemajuan zaman melalui ilmu pengetahuan, guru, pembisik, panutan yang mereka peroleh dari berbagai ’penjuru angin’, bahkan ’menambatkan’ label sebagai ”bapak pemimpin yang memimpin dengan ketentuan dan tatanan agama” pun tidak sanggup lagi, akibatnya tata kehidupan masyarakatnya terombang-ambing dalam ketidakjelasan para pemimpinnya (Machiavelli : determinisme kekuasaan).