Selasa, Juli 15, 2008

NAILA QONITA ZUHDI


PAWANG

Konon, menurut sejarah hingga saat ini, keberadaan pawang masih sering dibutuhkan. Terlebih lagi, kepiawaian pawang merupakan pekerjaan yang dianggap spesialis, karena dia memiliki kekhususan (’hulul’, aliran, inkarnasi), sehingga tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, sekalipun orang tersebut dianggap ’mumpuni’.

Di pasaran, paling tidak ada 3 kategori ilmu pawang, yaitu; Pertama, pawang ’mongso’ (cuaca, udara dan angin), biasanya memiliki pekerjaan dalam kaitan arah angin, misalnya merubah (menolak) arah angin yang membawa hujan atau mendatangkan hujan, Kedua, pawang ’lemah’ (tanah), memiliki kelebihan pekerjaan yang berhubungan dengan mahluk yang berpijak tanah, misalnya orang dan hewan, Ketiga, pawang bumi, pekerjaannya bersentuhan dengan tingkah laku bumi, misalnya pegunungan dan lautan.

Dalam ilmu kanuragan jawa, istilah pawang berasal dari bahasa jawa, sinonim dari ’papane neng lawang’, hal itu digunakan karena seorang pawang biasanya posisinya –untuk menjaga- di pintu depan. Protap seorang untuk menjadi pawang harus melalui dua tahap, yaitu tahap lahir dan batin, sedangkan tahap lahir, antara lain: sujud (salat), poso/puasa, zarah/ziarah (termasuk ziarah kubur dan naik haji), sodaqoh/sedekah (membayar zakat dan wakaf), sedangkan tahap batin, antara lain: tidak boleh takabbur, yang terimplikasi kedalam tingkah laku tawadu’, banyak dzikir (dzikrul minnah) dan semua ibadah batin.

Pawang lebih mempratikkan ibadah batin, diantaranya tawakkal, karena menurut para pawang, tawakkal merupakan bukti dan percaya kepada Allah SWT, dalam segala urusan yang kita khawatirkan (la khaula wal quwwata illa billah), kita serahkan kepada Allah SWT. (baca : Minhajul ’Abidin, Imam Ghazali)

Maka, ketawakkalan pawang, mereka selalu menghindari sifat-sifat riya’ (menyombongkan diri), karena menurut ’wejangan’ para pawang pendahulunya riya’ merupakan perbuatan pura-pura (sebenarnya tidak bisa tetapi pura-pura bisa) dan ingin dipuji oleh manusia. Buktinya, tidak ada pawang hebat yang menggunakan media iklan, baik cetak maupun elektronik, pawang yang menggunakan media iklan berarti pawang yang tidak ’mumpuni’ dan tidak percaya diri.

Setelah mendapat order, seorang pawang akan selalu membentengi (menjaga) nasabahnya secara langsung (full bodyguard contact), sehingga si-nasabah akan selalu aman dari mara bahaya yang mengancam dirinya. Kemanapun si-nasabah pergi, si-pawang akan selalu memonitor setiap saat. Akan tetapi, sesuai perkembangan zaman, ada beberapa pawang yang tidak melakukan penjagaan secara langsung, pawang yang telah memiliki strategi pelayanan maju, penjagaannya kepada si-nasabah cukup diwakilkan oleh media, baik berupa benda atau mahluk-mahluk halus peliharaannya.

Memang penggunaan pawang tidak terbatas, apapun agamanya, apapun jenisnya, tingkatan atau struktur kehidupannya, pegawai rendahan, pejabat pemerintah, mereka ingin aman dan berkah dari si-pawang.

Pada masa orde baru, penggunaan pawang hampir bisa dikatakan hal yang umum. Semua event, dan perhelatan yang dilaksanakan selalu memanfaatkan pawang. Untuk pelaksanaan peresmian-peresmian oleh kepala negara, agar tidak terjadi hujan, maka disiapkan pawang hujan sebanyak-banyaknya. Sedangkan untuk acara panen padi masal oleh petani dan pemotongan padinya dilakukan oleh kepala negara, maka selain pawang penolak hujan juga disiapkan pawang penolak ular dan hewan-hewan yang dapat membahayakan kepala negara.

Dinamika kehidupan religius terkadang tidak bisa ditebak, terlebih pada kultur tradisional konvensional, menurut cerita, hampir setiap perhelatan sejenis musabaqoh tilawatil qur’an-pun, tetap saja menggunakan pawang, agar acara tetap meriah dan tidak porak-poranda karena datangnya hujan dan berkeliarannya hewan-hewan melata berbisa.

Pada MTQ pekan lalu di Banten, menurut seorang pengunjung yang berasal dari kota Serang, dalam perhelatan tersebut, telah disiapkan lebih dari lima belas pawang dari berbagai disiplin ilmu, misalnya pawang hujan, sehingga arah angin yang membawa hujan disekitar acara bisa dipastikan berbelok dan mencari tempat yang lebih mementingkan air hujan, karena seandainya air hujan itu turun di arena MTQ, maka suasana akan berubah, hal itu dimungkinkan karena ada beberapa peralatan yang tidak boleh tergenang air, misalnya listrik dan soundsystem pendukung, yang merepotkan lagi disekitar lokasi pameran akan terjadi ’becek’ besar-besaran, pawang lain adalah pawang hewan, untuk mengusir hewan, seperti ular, karena lokasi MTQ merupakan lokasi yang dahulunya lahan kosong dan persawahan.

Fenomena pawang memang tidak bisa di-klaim oleh kultur tertentu, karena pawang sudah menjadi milik bangsa, milik tradisi masyarakat, dan milik adat-istiadat bangsa yang ber-bhineka tunggal eka ini, akan tetapi yang lebih penting, pawang jangan dijadikan alat untuk menjauhkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, karena sekali kita terjebak kepada kekufuran maka kita akan menuju kekafiran. Paling tidak kita memahami(Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia dan Agama; Murtadha Muthahhari, 1984), manusia dilahirkan sebagai mahluk sosial, hidup mesti dibagi dengan orang lain yang berperan serta di dalam semua tugas dan kreatifitasnya, dan sejenis pembagian kerja mesti ditetapkan di antara mereka sebagaimana yang terjadi pada mahluk hidup lainnya. Sehingga, anggap saja fungsi pawang sebagai seorang yang kreatif.

Tidak ada komentar: