Selasa, Juli 15, 2008

ONTOLOGI “SAYYIDDIN PANATAGAMA”


Tanggungjawab siapa apabila suatu budaya tiba-tiba berubah dan hilang ditelan zaman, kemudian mengubah cara hidup dan budaya masyarakat, yang menyedihkan lagi, menjadikan tipisnya kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya.

Kebudayaan, pada kenyataannya mampu membentengi seluruh dinamika baik buruknya kehidupan masyarakat. Tempo dulu, kebudayaan ditata sedemikian ’apik’ dan terstruktur, mulai dari bawah hingga paling atas. Islam jawa, salah satu contohnya. Kasultanan jawa yang islami menanamkan idiologi –agama Islam- kepada masyarakatnya dengan keberanian menyematkan label Sayyiddin Panatagama di depan nama.

Sayyiddin Panatagama, pada nama depan raja-raja memberi makna dalam dan penting. Masyarakat akan merasa bangga apabila pemimpinnya telah mendapat sebutan Sayyiddin Panatagma –mungkin realita politiknya hampir mirip penyematan identitas haji kepada pemimpin yang telah menunaikan ibadah haji-, yang berarti ’bapak yang mampu menata (memimpin) dengan ketentuan agama’, alih-alih dengan itu semua ada harapan bahwa pemimpinnya akan mampu berbuat adil dan arif bijaksana.

Budaya kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya memang bisa didapat atas dasar menyesuaikan diri dengan kebudayaan tempat dilahirkan atau dibesarkan serta cara memimpin. Fenomena tersebut tidak terselubung, akan tetapi karena kemajuan pemikiran dan kebiasaan yang telah mendarah daging bisa menjadi tolok ukur keberhasilan penanaman idiologi oleh pemimpinnya. Salah satu bukti, seperti yang teorikan oleh Clifford Geertz, yaitu “fabric of meaning in terms of which social interactions take place”.

Ajaran turun temurun para raja (sultan) untuk memberi predikat Sayyiddin Panatagama paling tidak atas dasar beberapa pertimbangan informal, melalui kontrol kebudayaan, diantaranya adalah, jauh dari iri hati, tidak memiliki kesukaan menceritakan kejelakan orang lain (gossip), atau kebiasaan ngerasanin, suka menjauhi orang yang tidak disukai dalam pergaulan (mirip : cekal atau mengucilkan).

Atas dasar tersebut di atas, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan kasultanan –pada saat raja-raja tempo dulu- menyangkut otensititas raja yang telah mendapat predikat Sayyiddin Panatagama, bahkan para kasultanan yang belum memeluk agama Islam yang obyektif juga mengakui bahwa sultan-sultan dengan gelar Sayyiddin Panatagama mampu mengayomi dengan jujur, adil dan arif bijaksana kepada seluruh kerajaan kecil.

Satu kelemahan, sekaligus menjadikan satu kekuatan, Sayyiddin Panatagama saat itu lebih banyak mengandalkan hafalan agama dibandingkan dengan pemahaman keilmuan yang dihasilkan dari banyaknya membaca kitab-kitab ajaran Islam, hal itu disebabkan masih langkanya para sultan yang menuntut ilmu ke negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan Islam diluar yang lebih maju.

Kendati demikian, kehandalan Sayyiddin Panatagama untuk mengurus kasultanan (kerajaan) tidak perlu diragukan, mereka mampu mewarnai masyarakatnya secara total. Sayyiddin Panatagama dapat memahami masyarakatnya mampu mempelajari kebudayaannya yang telah ditanamkan melalui pengenalan terhadap masyarakat itu sendiri, yang juga diperoleh melalui pergaulan, partisipasi untuk memahami kebudayaannya dengan lebih baik.
Jaminan Sayyiddin Panatagama sudah tidak tampak lagi pada era sekarang. Para pemimpin dewasa ini tergerus kemajuan zaman melalui ilmu pengetahuan, guru, pembisik, panutan yang mereka peroleh dari berbagai ’penjuru angin’, bahkan ’menambatkan’ label sebagai ”bapak pemimpin yang memimpin dengan ketentuan dan tatanan agama” pun tidak sanggup lagi, akibatnya tata kehidupan masyarakatnya terombang-ambing dalam ketidakjelasan para pemimpinnya (Machiavelli : determinisme kekuasaan).

Tidak ada komentar: