Rabu, Oktober 03, 2007

Senin, September 24, 2007

ANTBITJKOEK II


Alatief Hanan (NBC/041)


Sarapan pagi, apapun menunya, manusia akan mengambil hikmah dan keuntungan baik secara fisik maupun mental. Atas dasar itu, apabila melihat manusia selalu berada di antara hidayah Allah dan tipu daya syaithan —dua sisi positif dan negatif selalu dibawa dan melekat pada diri manusia— dan apabila manusia lupa —sedikit saja— syaithan akan menjermusukan ke dalam lembah yang nista dan merusak hidup seseorang, maka sarapan pagi yang baik adalah dengan menu shalat sunah dhuha.

Waktu pagi, merupakan saat yang paling fleksibel bagi orang yang mampu membuat jadwal kegiatan di pagi hari untuk menyempatkan mendirikan shalat sunah dhuha, berapapun rakaatnya.

Ada beberapa manfaat yang dapat diidam-idamkan bagi yang mendirikan shalat sunah dhuha. Semua paham bahwasanya waktu dhuha itu adalah waktu yang dimiliki oleh Allah SWT secara mutlak, waktu dhuha merupakan waktu yang sangat indah, waktu yang memiliki panorama yang utuh, waktu yang menjadi pusat kekuatan pada harinya, waktu yang menjadi kekuasaan penuh, dan waktu yang bisa menjadi permohonan perlindungan hingga saat dhuha datang berikutnya.

Disamping itu, pada waktu dhuha kita dapat memohon kepada Allah SWT agar dimudahkan dalam mencari rezeki, karena waktu dhuha merupakan waktu penyebaran rezeki dari atas langit, dan pada saat itu juga Allah SWT akan menurunkan rezeki sampai di dalam bumi, begitu juga Allah SWT akan mengeluarkan rezeki yang masih di dalam bumi, dan pada waktu dhuha Allah SWT akan memudahkan rezeki apabila itu sukar, dan kita juga dapat memohon kepada Allah SWT agar terhindar dari rezeki yang haram dan selalu mendapat rezeki yang halal dan suci, dan apabila rezeki itu masih jauh maka Allah SWT akan mendekatkan.

Dan pada waktu dhuha, kita juga dapat menikmati keagungan Allah SWT, keindahan Allah SWT, kekuatan dan kekuasaan Allah SWT yang akan melimpahkan rezeki kepada kita dan kepada hamba-hamba yang soleh.

Beberapa pendapat yang menganjurkan untuk mengambil keutamaan dalam waktu dhuha, maka pada saat telah selesai shalat dhuha maupun tiap-tiap selesai salam diantara shalat yang satu dengan shalat yang lain dengan membaca —paling tidak— Shalawat atas Nabi Muhammad saw, dan diteruskan dengan bacaan ”Laa ilaaha illallah wah dahuu laa syariikalah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ala kulli syaiin qadiir”.

Terlepas dari hubungan manusia dengan Allah SWT, maka shalat dhuha memang sangat diperlukan, apalagi bagi orang memiliki kesibukan dan beban kerja kantor yang tinggi dengan resiko stress, karena dengan melaksanakan shalat dhuha maka seseorang akan menjadi lebih tenang dan mudah mengendalikan diri serta meredam emosi sebelum melaksanakan pekerjanaannya.Faidah lain dari shalat dhuha sebagaimana dalam satu riwayat, Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya : “Barangsiapa yang menjaga sembahyang Dhuhanya niscaya diampuni Allah baginya akan segala dosanya walaupun seperti buih dilautan”. (Riwayat Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).

Rabu, September 19, 2007

DO'A SETELAH SHALAT SUNAH DHUHA


BUAT PARA BIKERS, pada saat istirahat dan ada kesempatan melaksanakan shalat sunah dhuha, coba deh berdoa sebagaimana dibawah ini :


Selepas memberi salam berdoalah : "Ya Allah bahawasanya waktu duha itu waktu duhamu, kecantikan ialah kecantikanmu , keindahan itu keindahanmu, kekuatan itu kekuatanmu ,kekuasaan itu kekuasaanmu dan perlindungan itu perlindunganmu ". " Ya Allah jika rezekiku masih di atas langit , turunkanlah dan jika ada di dalam bumi, keluarkanlah, jika sukar mudahkanlah, jika haram sucikanlah,jika masih jauh dekatkanlah, berkat waktu duha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaanmu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah engkau limpahkan kepada hamba-hambamu yang soleh". (B6146PDQ)

ANTBITJKOEK I



Oleh : Naila Qonita Zuhdi


Konon, menurut cerita para orang tua khususnya di kampung-kampung yang ikut mengalami dua kali pejajahan di Indonesia, banyak tata cara kehidupan sosial pribumi yang terpengaruh oleh kehidupan para penjajah. Istilah keseharian para penjajah banyak dikolaborasi oleh para priyayi dan pejabat-pejabat kadipaten, kawedanan bahkan masyarakat bawah. Salah satu contohnya ketika para priyayi akan mengatakan sarapan pagi, mereka cukup mengatakan kepada para pembantunya untuk menyiapkan ”roti kuk”, kependekan dari roti antbitjkoek (roti sarapan pagi).

Para penjajah, dan kemudian para priyayi, kehidupan kesehariannya lebih banyak —hanya cukup— memikirkan hal-hal yang tidak jauh dari masalah dunia, antara lain kedudukan, kekayaan dan perempuan yang semuanya bermuara pada perut. Mereka tidak memiliki rasa empati kepada hal-hal yang bersifat religius. Bahkan sangat tidak suka kepada perkembangan kehidupan religius masyarakat yang dijajah. Mereka memiliki keyakinan bahwa ketika masyarakat lebih baik dan meningkat ketaqwaannya maka akan susah di atur dan diperbudak, yang akibatnya akan selalu melakukan pemberontakan dan perlawanan kepada penguasa yang dholim (penjajah).

Islam memang agama yang menjanjikan bagi seluruh manusia (rahmatan lil ’alamin). Hal itu disebabkan dalam Islam hukum perputaran kehidupan tidak pernah selesai, setiap saat —dalam hitungan detik— diisi dan diwarnai dengan peng-agungan kepada Allah SWT. Dari satu waktu ke waktu lain umat Islam disediakan media untuk memohon dan meminta apapun yang mereka inginkan. Dalam dua puluh empat jam, maka umat Islam diberi peluang agar dalam kesehariannya dipenuhi dengan cahaya dimulai dari waktu subuh (wa subhi idza tanaffas) bahkan sebelum subuh, setelah itu, perputaran berikutnya masuklah waktu dhuha.

Waktu dhuha adalah ’roti sarapan pagi’ bagi muslim, apabila waktu ini terluang maka akan sangat rugi dalam waktu satu hari. Banyak para ustadz dan kiai yang mengajarkan pentingnya memanfaatkan waktu dhuha dengan baik, karena waktu dhuha adalah waktu umat Islam bernafas yang kedua. Beberapa ajaran tentang bagaimana memanfaatkan waktu dhuha dengan shalat dhuha sangat beragam dari sisi rakaat dan hikmah faedahnya.


Diantara faedah shalat sunah dhuha antara lain, dengan melakukan sholat duha dua rakaat, empat rakaat atau delapan rakaat maka manfaat yang diharapkan : Bernilai shadaqah dari seluruh persendian tulang, sebagaimana sabda Rasulullah saw, ”Setiap persendian kalian adalah sadaqah, setiap tasbih adalah sadaqah, setiap tahmid adalah sadaqah, setiap tahlil adalah sadaqah, setiap takbir adalah sadaqah, setiap anjuran pada kebaikan adalah sadaqah, setiap larangan dari yang mungkar adalah sadaqah, dan semuanya akan mendapat ganjaran yang sama dengan melakukan shalat dua rakaat dari shalat duha”.


Selain itu, shalat dhuha dikenal dengan shalat sunah untuk memohon rizki dari Allah, hal itu dikuatkan dengan hadits Nabi : " Allah berfirman : Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang (shalat dhuha) niscaya pasti akan Aku cukupkan kebutuhanmu pada akhir harinya " ( HR.Hakim dan Thabrani ).


Hadis riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi, dan daripada Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata: “Barangsiapa yang mengerjakan sembahyang sunat Dhuha dua belas rakaat dibina akan Allah baginya sebuah mahligai daripada emas”. Disamping itu, kelebihan sembahyang dhuha sebagaimana sabda Rasullullah SAW yang maksudnya : “Dua rakaat Dhuha menarik rezeki dan menolak kepapaan”.


Islam, telah mengajarkan kepada umatnya untuk selalu memanfaatkan sarapan pagi (antbitjkoek) dengan melakukan shalat dhuha, dan semoga dengan melakukan shalat dhuha kita tidak juga dianggap riya’ dan sombong, kita hanya mengharap ridho Allah SWT semata.

Senin, September 17, 2007

KIAI MANIK RETNO


Oleh : Alatief Hanan

Menurut sejarah, ketika Sultan Hamangku Buwono IV melakukan inspeksi ke luar kota untuk melakukan pendekatan dan memberikan pengarahan kepada para wakil-wakil pemerintahan kasultanan, alat transportasi yang dipergunakan adalah kereta kuda yang bernama Kiyai Manik Retno.

Penggunaan nama kereta ’kiai manik retno’ dapat dipastikan agar seluruh kegiatan yang menggunakan kereta tersebut berdampak kepada hal-hal yang bermanfaat, sebagaimana arti dari manik retno (permata hati) itu sendiri.

Dalam sejarah tempo dulu, hampir secara turun menurun selalu menggunakan nama, sebutan dan istilah sebagai media do’a (harapan). Yang sangat lazim kita temui adalah pemberian nama anak yang sedang lahir, hampir semua kultur sepakat, pemberian nama pada anak merupakan do’a orang tua sehingga anak akan menjadi permata hati keluarga.

Sesuai kemajuan zaman, nama dan istilah agar menjadi harapan dan permata hati diberikan juga pada nama perusahaan atau usaha. Justru, pada komunitas tertentu –khususnya Jawa dan Cina- pemberian nama perusahaan atau usahanya mewajibkan menggunakan nama-nama yang dapat mendongkrak kemajuan dan keberhasilan (bhs jawa : ka-begjan). Kemudian pada zaman moderen saat ini nama dan sebutan yang baik dijadikan motto atau yel-yel yang dapat memotivasi anggotanya agar selalu berbuat baik.

Kolaborasi pemberian sebutan ternyata merambah kepada sistem pemerintahan. Diberbagai kementerian negara dan lembaga pemerintahan berusaha memiliki motto yang mampu menjadi permata hati masyarakat. Paling tidak menjadi alat meyakinkan masyarakat bahwa tujuan utama dari kementerian negara dan lembaga pemerintah tersebut mengutamakan kepentingan rakyat.

Tidak salah kalau Departemen Agama memiliki motto ”ikhlas beramal”, karena lahirnya motto tersebut sudah pasti keluar dari hati nurani paling dalam dan bersih para pendiri dengan harapan agar seluruh jajaran pegawai mampu menjadi pelayan masyarakat dengan tekat yang tulus, bekerja dengan jujur, menentukan sikap dengan adil dan menjalankan tugas secara amanah.

Konsekuansi logis bagi para pegawai dan pejabatnya adalah harus mampu menjadi tauladan masyarakat, dengan tidak berbuat ceroboh dan melanggar hukum, sehingga mampu menjadi permata hati yang dilayani.

Dalam masa pencerahan sistem perkantoran, yang mengarah kepada kemajuan dan modernisasi sistem, hampir semua perkantoran pemerintah menginginkan optimalisasi pelayanan dan memfokuskan pada kepuasan (customer value). Dalam pemerintahan Islam, strategi untuk memberikan kepuasan layanan kepada masyarakat tidak serumit apa yang sedang berkembang saat ini. Paling tidak ada dua unsur penting yang harus dihilangkan dalam cara menjalankan (manajerial) lembaga dan pemerintahan Islam, yaitu menghilangkan bohong dan bodoh.

Sebagai abdi masyarakat, maka sangat penting untuk memulai menghilangkan bohong, karena dengan berbekal satu kali bohong, maka akan susah untuk tidak mengulangi lagi, apalagi kebohongan yang berdampak merugikan orang lain maka selalu berpotensi untuk diulangi. Sering tidak disadari oleh pegawai, bahwa memulai pekerjaannya dengan selalu melebih-lebihkan (overstated), maka selanjutnya akan berlaku bohong. Bagi yang telah terbiasa bohong, maka menghilangkan bohong sangatlah sulit, akan tetapi bagi yang berusaha dengan sungguh-sungguh hal itu tidaklah sulit, justru yang paling penting adalah berusaha dari permulaan.

Selanjutnya hilangkan bodoh, dengan selalu mencari dan menambah ilmu pengetahuan maka (paling tidak) pegawai akan selalu bekerja penuh kreatif, inovatif dan toleran. Pegawai yang berilmu pengetahuan (knowledge worker) maka selalu mengedepankan kepentingan yang dilayani dan menghilangkan kesan yang selama ini menempel pada identitas birokrasi yaitu ”birokrasi itu panjang dan rumit, birokrat itu ujung-ujungnya korupsi”.

Survey membuktikan, porak porandanya sistem pemerintahan salah satunya disebabkan cara memimpin yang tidak bisa menghilangkan kebohongan dan kebodohan.

TIP MENGENDARAI MOTOR DENGAN BAIK DAN BENAR


copy paste oleh : nasiudukdotcom


nemu artikel ini di internet yg nulis namanya Maricon Williams tapi.. gak ada informasi lain mengenai beliau ini

yah.. yg penting kan isinya sekalian.. saya kasih link ke berbagai thread2 lama di forum ini

yg membicarakan masing2 tips
sapa tau ada member baru yg belum baca

1. Siapkan sepeda motor anda
jangan berperang dng pedang yg rusak makanya periksa motor anda sebelum mulai berkendara kalo ada suku cadang yg perlu diganti, jangan menunggu, gantilah kalo ada yg perlu diperbaiki, langsung perbaiki jangan pernah menganggap enteng masalah2 yg ditemukan krn bukan cuma akan mengganggu proses perjalanan tapi juga bisa membahayakan keselamatan
baca tips pre-ride check dan starting checklist di thread » Pre-ride checklist : T-CLOCS» Starting checklist

2. Gunakan pelindung dirientah itu helm, jaket, sarung tangan, sepatu, dll
jangan pernah tidak peduli dng penggunaan hal2 tsb anda tidak pernah tau, bagian tubuh mana yg akan cidera saat terjadi kecelakaandan anda tidak pernah tau kapan kecelakaan akan terjadi jadi.. lindungi diri anda dari kepala sampai kaki
baca informasi2 lain mengenai helm di thread » Mengenal helm lebih dekat» Sekali lagi tentang helm» Panduan memilih helm» Kenapa kita perlu helm yg baik

3. Berusahalah utk gampang terlihat
pakailah perlengkapan yang gampang terlihatlebih baik lagi bila bisa merefleksikan cahaya (flourescent)begitu juga dng warna dari bagian2 motor ini akan membantu anda utk gampang terlihat oleh pengguna jalan lain diskusikan tips ini di thread » Berusahalah utk terperhatikan pengguna jalan lain

4. Jaga jarak
selalu jaga agar ada jarak aman di sekeliling motor bukan cuma utk menjaga bila kendaraan di depan dan di sekeliling tiba2 berhenti tapi juga utk menghindari road hazzard yg tiba2 muncul krn sebelumnya tak terlihat
baca artikel dng topik yg sama di thread » Jaga jarak aman

5. Bersiap menghadapi kecelakaan
setiap kali berkendara, bersiaplah menghadapi segala kemungkinan terburuk termasuk kecelakaan dng konsep ini, anda akan lebih berhati2 dan akan berkendara secara defensif berhatilah di setiap belokan, persimpangan, lalu lintas dari arah berlawanan, dan tempat2 ramai yg dilewati (pasar, sekolah, dll)baca juga thread » Siapkan diri menghadapi ancaman di jalan

6. Bila mungkin, hindari berkendara di malam hariya betul, di siang hari saja, motor relatif lebih sulit terlihat apalagi di malam hari baca juga thread » Waspadai kegelapan di malam hari

7. Ride your own ride
jangan coba berkendara utk gaya-gayaan jangan juga utk membuat orang terkagum2 sadari kemampuan diri, dan selalu ingat utk memprioritaskan keselamatan bukan yg lain
jangan pernah berhenti berusaha berkendara dng santun, tertib, aman, dan nyaman

kampanyekan terus cara2 berkendara yg lebih defensif dan elegan

PESEN ANAK PADA BAPAK


Pa......kalo touring hati-hati ya......dan yang penting perhatiin peraturan lalu lintas, dan jangan lupa :

1. Wajib pake Jaket, baik yang didepan maupun yang bonceng (kalo ada)

3. Wajib pake sepatu tertutup sampai tumit

4. Jangan lupa bawa jas hujan

5. Jangan lupa bawa air putih buat minum

6. Baca do'a sebelum berangkat

7. Jangan kebut-kebutan dan ugal-ugalan, kalo kebut-kebutan nanti dikira preman pasar......lo

8. Jalan berurutan jangan berdampingan pada waktu di jalanan

9. Perbanyak istirahat

10, Cari tempat istirahat yang bisa buat solat, misalnya musholla atau masjid

11. Diusahakan solat sunat

12. Sesampai tujuan, usahakan solat sunat lagi, setelah selesai solat dan santai-santai....usahakan hubungi keluarga


Semoga selamat sampai tujuan dan sampai di rumah kembali....ya pa.....
Naila Qonita Zuhdi

16 NASEHAT AYATULLOH IMAM KHAMAENI UNTUK PEMBINAAN PRIBADI

Buat Rider's yang sempat membaca blog ini, dan mampu mengamalkan ajaran ini

1. Sedapat-dapatnya berpuasalah setiap hari Senin dan Kamis
2. Salatlah 5 waktu tepat pada waktunya dan berusahalah sholat tahajjud
3. Kurangilah waktu tidur dan perbanyak membaca Alquran
4. Perhatikanlah sungguh-sungguh janjimu
5. Berinfaklah kepada faqir miskin
6. Hindarilah tempat-tempat maksiat
7. Hindarilah rempat-tempat pesta pora dan janganlah mengadakannya
8. Jangan banyak berbicara dan seringlah berdoa, khususnya pada hari Selasa
9. Berpakaian secara sederhana
10. Berolahragalah (senam, lari jarak jauh, mendaki gunung dll)
11. Banyak-banyaklah menelaah berbagai buku
12. Belajrlah ilmu teknik yang dibutuhkan banyak negara Ilam
13. Belajarlah ilmu tajwid dan bahasa Arab, serta pahamilah
14. Lupakanlah pekerjaan-pekerjaan baikmu dan ingatlah dosa-dosamu yang lalu
15. Pandanglah fakir miskin dari segi material dan ulama dari segi spiritual
16 Ikuti perkembangan umat Islam
source: wasiat sufi Ayatullah Khomaeni

SIFAT-SIFAT RASULULLAH MENURUT AL-QURAN


KH. Jalaluddin Rakhmat

Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyampaikan dua buah hadits tentang kecintaan kepada Rasulullah saw. Pertama, hadits yang masyhur diri­wayat­­­­kan dalam kitab-kitab ahli sunnah, di antaranya dalam Al-Targhib wal Takhib, sebuah kitab hadits yang sangat populer di antara kita. Kedua, hadits yang dikutip dari Bihar Al-Anwar, kitab hadits yang cukup besar dan menjadi rujukan mazhab Ahlul Bayt.Hadits yang pertama menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan para sahabat­nya, seorang pemuda datang men­dekati Rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, aku men­cintai­mu.” Lalu Rasulullah saw berkata: “Kalau begitu, bunuh bapakmu!” Pemuda itu pergi untuk melaksana­kan perintah Nabi. Kemudian Nabi memanggilnya kembali seraya berkata, “Aku tidak diutus untuk menyuruh orang berbuat dosa.” Aku hanya ingin tahu, apa betul kamu mencintai aku dengan kecintaan yang sesungguhnya?”Tidak lama setelah itu, pemuda ini jatuh sakit dan pingsan. Rasulullah saw datang menjenguknya. Namun pemuda itu masih dalam keadaan tidak sadar. Nabi berkata, “Nanti kalau anak muda ini bangun, beritahu aku.” Rasululah saw kemudian kembali ke tempatnya. Lewat tengah malam pemuda itu bangun. Yang pertama kali ia tanyakan ialah apakah Rasulullah saw telah berkunjung kepadanya. Diceritakanlah kepada pemuda itu bahwa Rasulullah saw bukan saja berkunjung, tapi beliau juga berpesan agar diberitahu jika pemuda itu bangun. Pemuda itu berkata, “Tidak, jangan beritahukan Rasulullah saw. Bila Rasulullah harus pergi pada malam seperti ini, aku kuatir orang-orang Yahudi akan mengganggunya di perjalanan.” Segera setelah itu, pemuda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.Pagi hari usai shalat subuh, Rasulullah saw diberitahu tentang kematian pemuda itu. Rasul datang melayat jenazah pemuda itu dan berdo’a dengan do’a yang pendek tetapi sangat menyentuh hati, “Ya Allah, sambutlah Thalhah di sisi-Mu, Thalhah tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum kepadanya.”


Dengan hal itu Nabi menggambarkan kepada kita, bahwa orang yang mencintainya akan dido’akan oleh Nabi untuk berjumpa dengan Allah swt. Allah akan ridha kepadanya dan dia ridha kepada Allah, Radhiyyatan Mardhiyyah. Dia tersenyum melihat Allah dan Allah tersenyum melihatnya.Hadits yang kedua mengisahkan seorang pedagang minyak goreng di Madinah. Setiap kali dia hendak pergi, termasuk pergi ke pasar, dia selalu melewati rumah Rasulullah saw. Dia selalu singgah di tempat itu sampai dia puas memandang wajah Rasul. Setelah itu ia pergi ke pasar. Suatu saat setelah melepaskan rindunya kepada Rasul, seperti biasanya ia pergi ke pasar. Tapi tidak berapa lama setelah itu, dia datang lagi. Nabi terkejut sehingga bertanya, “Kenapa kau balik lagi?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, setelah saya sampai di pasar hati saya gelisah. Saya ingin kembali lagi. Izinkan saya memandang Engkau sebentar saja untuk memuaskan kerinduan saya.” Kemudian Rasul ber­bincang-bincang dengan orang itu.Tidak lama setelah itu Nabi tidak lagi melihat tukang minyak itu lewat di depan rumahnya. Berhari-hari orang itu tidak lagi kelihat­­an batang hidungnya di depan Rasulullah saw. Lalu Rasul mengajak sahabat-sahabatnya untuk menjenguk dia. Berangkatlah mereka ke pasar dan mendapat kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya pertemuan sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak bisa lagi memandang wajah Rasulullah saw.Rasul bertanya kepada orang-orang di pasar, “Bagaimana akhlak orang itu?” Mereka berkata, “Orang itu pedagang yang sangat jujur. Cuma ada sedikit saja, orang ini senang perempuan.” Kemudian Rasul ber­kata, “Sekiranya orang itu dalam dagangnya agak lancung sedikit, Allah akan mengampuni dosanya karena kecintaannya kepadaku.” Tetapi orang itu sangat jujur dan kecinta­annya kepada Rasul dibuktikan dalam kejujurannya di dalam berdagang.Dua hadits di atas menceritakan kepada kita tentang pentingnya mencintai Rasulullah saw. Sudah sering kita mendengar hadits yang berbunyi, “Belum beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada dirimu, anak-anakmu, dan seluruh ummat manusia.”Kita semua diperintahkan mencintai Rasulullah saw. Mencintai Rasul merupakan bagian dari seluruh bangunan keislaman kita. Oleh karena itu, dahulu para ulama melaku­kan berbagai cara agar kecintaan kepada Nabi terus-menerus dibangkitkan. Di antaranya dengan menghias majelis-majelis mereka dengan bacaan shalawat, mengadakan peringatan maulid, dan mengungkapkan kecinta­­­an mereka dengan puisi-puisi, sehingga sepanjang sejarah sudah terkumpul ribuan puisi yang ditulis untuk mengungkap­kan kecintaan kepada Rasululah saw.Beberapa waktu yang lalu di masjid Asy-Syifâ, Universitas Diponegoro, saya mengajak semua orang untuk kembali membangkitkan kecintaan kepada junjungan kita Rasulullah saw. Ada orang yang bertanya kepada saya: “Saya ingin mencintai Rasulullah, tapi apa yang harus saya lakukan supaya kecintaan itu tertanam di dalam hati saya. Kalau saya ini mencintai seorang perempuan, saya bayangkan wajahnya, rambutnya, dan bibirnya supaya tumbuh kerinduan saya kepada perempuan itu. Apakah saya harus membayangkan wajah Rasululah saw, supaya saya bisa men­­­­-cintai­­nya?” Waktu itu saya menjawab: “Inilah bencana paling besar yang menimpa kita sekarang ini. Kita hanya bisa mencintai sesuatu yang bisa dilihat, diraba, dan disaksikan. Kita ini sama dengan orang-orang kafir yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka hanya mencintai yang zhahir saja, mata mereka tidak dapat menembus hal-hal yang bathiniyah.Jadi, kalau kita mau mencintai, maka cinta kita hanya cinta fisikal saja, cinta yang sensual. Kita tidak dididik untuk mencintai orang bukan karena tubuhnya. Di dalam ilmu percintaan, cinta karena tubuh adalah tahapan cinta yang paling rendah. Para ahli jiwa mengatakan, cinta pertama pada anak-anak adalah cinta pada sesuatu yang bisa dilihat. Menurut Sigmund Freud, pertama kali seseorang mencintai ialah ketika dia merasa­kan kenikmatan pada waktu menyusu kepada ibunya. Itulah cinta yang paling rendah. Makin dewasa orang itu, makin abstrak atau makin tidak kelihatan cintanya. Sayang, tampaknya kedewasaan kita ini lambat.Salah satu ciri ketidakdewasaan kita adalah bila kita mencintai sesuatu, itu dikarenakan oleh hal-hal yang kongkret dan bisa dilihat. Kita cinta kepada gunung, karena kehijauannya yang bisa dilihat dan kesejuk­kan anginnya yang bisa dirasakan. Bukan karena keanggunannya dan misteri yang ada dibalik gunung itu. Kalau kita menceritakan laut, yang kita ceritakan adalah gelombang­nya, batu-batu karangnya, dan ikan-ikannya. Tidak kita ceritakan keluasan samudera itu, kedahsyatannya, dan pengaruhnya kepada jiwa kita. Sebab, semua hal itu terlalu abstrak dan kita terbiasa dengan hal-hal yang kongkret.Ketika Pemilu, kita memilih partai bukan program-programnya. Karena program bersifat abstrak, tidak kelihatan. Kita juga memilih bukan karena perilaku para politisi­nya, karena perilaku itu tidak kelihatan.Tapi saya tidak akan menceritakan hal itu, saya akan membawa Anda mencintai Rasulullah saw dengan kecintaan yang lebih tinggi tingkatnya. Bukan kecintaan fisikal atau jasmaniah. Kecintaan jasmaniah itu adalah kecintaan ala ABG, yang tidak layak buat orang-orang dewasa seperti kita.Kalau kita buka ayat Al-Qur’an, ketika Allah berkisah tentang Rasulullah saw, tidak pernah diceritakan sifat-sifat jasmaniah Rasulullah saw. Al-Qur’an selalu mencerita­kan sifat-sifat ruhaniah Rasulullah saw. Bercerita tentang akhlak Rasulullah saw, bukan penampilan fisiknya.Berbeda dengan para sahabat. Kalau sahabat bercerita tentang Rasulullah saw sering berupa penampilan fisiknya. Misalnya diceritakan bahwa Rasul itu kalau tertawa sampai kelihatan gusinya. Atau diceritakan tentang tetesan keringat Rasul. Siti Aisyah pernah terpesona dengan tetesan keringat di dahi Rasul, sampai dia berkata: “Ya Rasulullah, ingin saya bacakan sebuah puisi kepadamu.” Lalu Siti Aisyah menuliskan puisinya dengan mengutip syair seorang Arab tentang tetesan keringatnya. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Siti Aisyah hanya mencintai Rasulullah saw karena jasmaninya.Saya ingin mengetengahkan satu ayat Al-Qur’an. Ada riwayat yang agak lucu tentang ayat ini. Katanya setelah Al-Qur’an terkumpul dan tertulis pada zaman Abu Bakar, seseorang berkata bahwa ada satu ayat yang hilang. Pada waktu itu, seseorang yang mengumpul­-kan ayat harus membawa saksi satu orang. Sehingga jumlah pengumpul ayat ada dua orang. Seseorang berbicara, “ Ada yang terlewat, satu ayat belum masuk ke situ.” Dia hanya seorang diri, tidak mempunyai saksi. Namanya Khuzaimah bin Tsabit. Lalu orang-orang berkata, “Kesaksian Khuzaimah bin Tsabit dihitung menjadi dua, karena hanya dia yang mengetahui ayat Al-Qur’an ini.”Lepas dari persoalan hadits ini shahih atu tidak, ayat itu bercerita tentang akhlak Rasullullah saw dan ayat itu sering menjadi wirid kita semua. Mungkin ini juga merupakan cara agar kita mampu memasukkan akhlak itu dalam kehidupan kita. Ayat itu berbunyi, “Laqad Jâ’akum Rasûlum Min Anfusikum...” (QS Al-Taubah 128). Menurut Fakhrur Râzi, kata anfusikum menurut qira’at nabi saw, qira’at Fatimah as, dan qira’at Aisyah dari Ibnu Abbas as harus dibaca Anfasikum. Dibacanya difathahkan bukan didhammah­kan. Hal ini akan kita ceritakan kemudian.Fakhrur Razi menjelaskan ada empat sifat Nabi yang tergambar dalam Surat At-Taubah ayat 128. Pertama, Min Anfusikum, dari kalanganmu sendiri. Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula Superman, tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita semua, seperti dalam ayat “Qul innamâ anâ basyârum mitslukum...” (QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan manusia istimewa dari segi jasmaniah­nya, ia pun merasakan lapar dan dahaga. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.Dalam qira’at Min Anfasikum, diterangkan bahwa kata Anfas mengandung arti yang paling mulia. Jadi ayat ini berarti, “Sudah datang di antara kamu seorang Rasul yang paling mulia.” Artinya Rasulullah diakui kemuliaannya, bahkan sebelum Rasul membawa ajaran Islam. Dia adalah orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya dilihat dari segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul berasal dari kabilah yang paling baik. Jadi sifat pertama nabi adalah paling mulia akhlaknya, sampai orang-orang di sekitarnya memberi gelar Al-Amîn, orang yang terpercaya.Sifat kedua Nabi ialah, berat hatinya melihat penderitaan umat manusia. Para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan berat hati Nabi ialah kalau manusia menemu­kan hal-hal yang tidak enak. Dalam riwayat yang lain, yang diartikan dengan berat hati Rasul ialah jika orang Islam berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadits, diriwayat­kan bahwa sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat perbuatan-perbuatan kita dan Rasul akan menderita jika melihat kita berbuat dosa. Karena beliau sangat ingin supaya kita memperoleh petunjuk Allah. Bahkan Rasul sampai bersujud di hadapan Allah agar diizinkan untuk dapat memberi syafaat kepada umatnya.Jalaluddin Rumi bercerita dalam salah satu syairnya yang dibukukan dalam Al-Matsnawi tentang Rasulullah saw. Pada suatu hari di mesjid, Rasul kedatangan serombongan kafir yang meminta untuk bertamu. Mereka berkata, “Kami ini datang dari jarak yang jauh, kami ingin bertamu kepada Engkau, Ya Rasulullah.” Lalu Rasul mengantarkan para tamu tersebut kepada para sahabatnya. Salah seorang kafir yang bertubuh besar seperti raksasa tertinggal di mesjid, karena tidak ada seorang sahabat pun yang mau menerimanya. Dalam syair itu disebutkan, ia tertinggal di mesjid seperti tertinggalnya ampas di dalam gelas. Mungkin para sahabat takut menjamu dia, karena membayangkan harus menyediakan wadah yang sangat besar.Lalu Rasul membawa dan menempat­kannya di sebuah rumah. Dia diberi jamuan susu dengan mendatangkan tiga ekor kambing dan seluruh susu itu habis diminum­nya. Dia juga menghabiskan makanan untuk delapan belas orang, sampai orang yang ditugaskan melayani dia jengkel. Akhirnya petugas itu menguncinya di dalam. Tengah malam, orang kafir itu menderita sakit perut. Dia hendak membuka pintu tapi pintu itu terkunci. Ketika rasa sakit tidak tertahankan lagi, akhirnya orang itu mengeluarkan kotoran di rumah itu.Setelah itu, ia merasa malu dan terhina. Seluruh perasaan bergolak dalam pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada orang yang akan membukakan pintu. Pada saat subuh dia mendengar pintu itu terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu adalah Rasulullah saw.Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang kafir itu. Ketika Rasul membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi agar orang kafir itu tidak merasa malu untuk meninggal­kan tempat tersebut.Ketika orang kafir itu sudah pergi jauh, dia teringat bahwa azimatnya tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi berkata, “Kerasukan mengalahkan rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh barang yang berharga menghilangkan rasa malunya.” Akhirnya dia kembali ke rumah itu.Sementara itu, seorang sahabat membawa tikar yang dikotori oleh orang kafir itu kepada Rasul, “Ya Rasulullah, lihat apa yang dilakukan oleh orang kafir itu!” Kemudi­an Rasul berkata, “Ambilkan wadah, biar aku bersihkan.” Para sahabat meloncat dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau adalah Sayyidul Anâm. Tanpa engkau tidak akan diciptakan seluruh alam semesta ini. Biarlah kami yang membersihkan kotoran ini. Tidak layak tangan yang mulia seperti tanganmu membersihkan kotoran ini.” “Tidak,” kata Rasul, “ini adalah kehormatan bagiku.” Para sahabat berkata, “Wahai Nabi yang namanya dijadikan sumpah kehormatan oleh Allah, kami ini diciptakan untuk berkhidmat kepadamu. Kalau engkau melakukan ini, maka apalah artinya kami ini.”Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu, dia melihat tangan Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran yang ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia memukul-mukul kepalanya sambil berkata, “Hai kepala yang tidak memiliki pengetahuan.” Dia memukul-mukul dadanya sambil berkata, “Hai hati yang tidak pernah memperoleh berkas cahaya.” Dia bergetar ketakutan menahan rasa malu yang luar biasa. Kemudi-­an Rasul menepuk bahunya menenangkan dia. Singkat cerita, orang kafir itu masuk Islam.Boleh jadi cerita Jalaluddin Rumi ini adalah sebuah metafora. Suatu perlambang bahwa kedatangan Rasul adalah untuk membersihkan kotoran dan noda-noda yang ada pada diri kita. Betapa banyaknya kaum muslimin menodai rumah Rasul dengan kemaksiatan dan akhlak yang buruk. Kita ini sama dengan orang kafir yang menaburkan kotoran di rumah Rasul yang suci. Bedanya ialah, kita percaya karena kecintaan Nabi kepada kita, Rasul akan mengulurkan syafaatnya kepada kita. Derita kita adalah juga derita Rasul. Karena itu, jangan ragu-ragu untuk datang meminta syafaatnya dan bersimpuh di hadapan Nabi sambil meng­ucap­kan, “Yâ Abal Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ Wajîhan ‘Indallâh, Isyfa’lanâ ‘Indallâh.”Terlalu banyak kotoran yang kita taburkan di rumah Nabi yang mulia. Seperti tertulis dalam sebuah puisi Iqbal. Ketika sakit keras, Iqbal pernah berdo’a: “Ya Allah kalau Engkau adili aku di hari kiamat nanti, jangan dampingkan aku di samping Nabi Al-Musthafa. Karena aku malu mengaku sebagai umatnya padahal hidupku bergelimang dalam dosa.”Kita sebenarnya harus malu seperti malunya orang kafir itu. Kita datang berziarah kepada Rasul di bulan Maulid ini dengan membawa seluruh kemaksiatan. Kita sudah banyak mengotori rumah Rasul yang mulia dengan akhlak yang tercela. Tapi kita percaya bahwa Nabi mendengar jeritan kita. Kita sadari kejelekan akhlak-akhlak kita dan kita malu bertemu dengan Rasul dengan mem­bawa dosa. Tetapi kita percaya bahwa kita menantikan tepukan tangan Rasul untuk menentramkan batin kita dan mengharapkan syafaatnya.Sifat ketiga Rasullullah saw, ialah bahwa ia sangat ingin agar kaum muslimin memperoleh kebaikan. Ia ingin memberikan petunjuk kepada umatnya. Keinginan untuk memberikan petunjuk kepada kita begitu besar, sehingga Rasul bersedia memikul seluruh penderitaan dalam berdakwah.Adapun sifat keempat Rasulullah saw, ialah bahwa ia sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukminin. Menurut para ahli tafsir, belum pernah Allah meng­himpun­kan dua nama-Nya sekaligus pada nama seorang nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad saw. Nama yang dimaksud ialah nama Raûfur Rahîm.Raûfur Rahîm itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Raûfun artinya penyayang dan Rahîm artinya peng­asih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu tempat, maka artinya berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu berarti sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat kepadanya, tapi juga penyayang kepada orang yang berbuat dosa. Nabi melihat amal kita setiap hari. Beliau berduka cita melihat amal-amal kita yang buruk.Dalam riwayat yang lain, Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah, Rahîmun Liman Lam Yarâh. Artinya, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah berjumpa dengannya dan juga penyayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengannya. Suatu hari Rasul berkata, “Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan ikhwânî.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini ikhwânuka.” “Tidak,” jawab Rasul, “kalian ini sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku, tapi membenarkanku dan beriman kepadaku.” Rasul sangat sayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengan Rasul tetapi beriman kepadanya.Di dalam Tafsir Al-Dûrrul Mantsûr, diriwayatkan sebagai berikut, “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, padahal tidak pernah berjumpa denganku.” Rasul menye-but­nya sampai tiga kali. Rasul juga sayang bukan hanya kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada orang kafir.Saya akan menceritakan hadits lain. Diriwayatkan bahwa ketika Rasul berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu sehingga tubuhnya berdarah. Kemudian Rasul ber­lindung di kebun Uthbah bin Rabi’ah. Rasul berdo’a dengan do’a yang sangat mengharu­kan. Rasul memanggil Allah dengan ucapan, “Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada siapa Engkau akan serah­kan aku, kepada saudara jauh yang mengusir aku?” Kemudian datang malaikat Jibril seraya berkata: “Ya Muhammad, ini Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu. Dan dia tidak akan melakukan apapun kecuali atas perintahmu.” Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung itu kepada mereka.” Namun Nabi berucap, “Hai malaikat dan gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang-orang yang mengucapkan kalimat Lâilâha illallâh.” Nabi tidak mau menurunkan azab kepada mereka. Nabi berharap kalau pun mereka tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian berkata para malaikat dan gunung, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu, sangat penyantun dan penyayang.”Kasih sayangnya tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita semua. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu besar. Menurut Siti Aisyah, Nabi tidak makan selama tiga hari berturut-turut dalam keadaan kenyang. Ketika Aisyah bertanya apa sebabnya, Nabi menjawab, “Selama masih ada ahli shufah —orang-orang miskin yang kelaparan di sekitar mesjid— saya tidak akan makan kenyang.” Dan itu tidak cukup hanya pada saat itu, Nabi juga memikirkan umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir ada umat­nya yang makan kenyang sementara tetangga di sekitarnya kelaparan.Karena itu, Nabi berpesan, “Tidak beriman kamu, jika kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan.” Nabi pun mengatakan, “Orang yang senang membantu melepaskan pen­derita­­an orang lain, akan senantiasa men­dapat bantuan Allah swt.” Empat sifat Rasulullah kepada umatnya, yang sangat luar biasa.Marilah kita kenang kecintaan Rasulullah yang agung kepada kita dan bandingkanlah apa yang bisa membuktikan kecintaan kita kepadanya. Sekarang kita bertanya, sudah sejauh mana kita mengikuti sunnah Rasulullah saw? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah 128? Bagai-mana kita dapat ikut merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita menjadi orang yang berusaha agar orang- orang lain itu hidup bahagia dan memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuh­-kan sikap Raûfur Rahîm di dalam diri kita seperti Rasulullah saw contohkan kepada kita?Marilah kita sebarkan kecintaan kepada Rasulullah saw di dalam diri kita, keluarga kita, dan pada masyarakat di sekitar kita. Akhirul kalam, yang harus selalu kita ingatkan pada diri kita adalah misi Rasulullah yang paling utama, yaitu misi akhlak yang mulia. Tidak ada artinya menisbahkan diri kita kepada Rasulullah saw tanpa memelihara akhlak yang mulia. Hendaknya kita selalu malu untuk mengucapkan shalawat kepada junjungan kita, sementara di punggung kita penuh dengan dosa dan maksiat. Kita telah mengotori rumah Rasulullah saw dengan akhlak buruk kita. ***

Minggu, September 16, 2007

Presiden Berkarakter Semar dan Berhati Sufi


Oleh A. Sihabulmillah
Lantas bagaimana figur presiden yang layak memimpin? Jawabnya memang tidak mudah. Kendati demikian, penulis mengajak masyarakat Indonesia untuk merekam ulang jejak kepemimpian ideal yang pernah dipraktikkan Semar dan pola kepemimpian yang mengedepankan ajaran sufi.
Suara rakyat menjadi penentu pemimpin nasional pada 20 September nanti. Sekali kita salah memilih figur pemimpin, maka semua anak bangsa ini harus menanggung risikonya. Oleh sebab itu, kita harus pandai memilah sebelum memilih pemimpin. Jangan terjebak dengan janji-janji politik dan jangan pula terperdaya dengan usaha pemolesan diri yang mereka lakukan guna memperoleh simpati rakyat, semisal dengan cara turun ke pasar, pesantren, terminal, rumah sakit, dan lain-lain.
Lantas bagaimana figur presiden yang layak memimpin? Jawabnya memang tidak mudah. Sudah berkali-kali bangsa Indonesia memilih presiden yang dianggap layak dan capable, tapi kenyataannya jauh dari yang dibayangkan. Kendati demikian, penulis mengajak masyarakat Indonesia untuk merekam ulang jejak kepemimpian ideal yang pernah dipraktikkan Semar dan pola kepemimpian yang mengedepankan ajaran sufi. Dalam khazanah Jawa (meski sebatas mitologi), Semar ialah pemimpin yang acapkali dipuja masyarakat, karena keberhasilannya dalam memajukan bangsa. Sementara dalam tradisi Islam, pemimpin yang membalut hatinya dengan ajaran sufi selalu disanjung masyarakat karena mampu menempatkan ajaran agama sebagai kendali dalam memimpin bangsa. Dua karakter kepemimpinan inilah yang diharapkan bisa menjadi pertimbangan rakyat Indonesia dalam pemilu putaran II dan sekaligus sebagai jawaban di atas.
Sebagai simbol kearifan, terutama dalam dunia wayang, Semar adalah dewa yang menyamar sebagai kawulo alit (orang kecil) untuk mengembalikan perdamaian di saat negara dalam keadaan gawat. Semar adalah tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan kharismatik sekaligus rasional. Ia ahli dalam bidang politik, ekonomi dan sosial dan mampu meredam gejolak di tengah masyarakat. Ia selalu bersikap tegas dalam mengambil keputusan dan tak pandang bulu dalam memberi sanksi hukum terhadap siapa saja yang melanggar aturan, apakah itu keluarganya, kerabatnya, atau temannya. Yang paling mengagumkan dari Semar adalah sikapnya yang tidak banyak bicara dan menjual janji-janji menggiurkan terhadap rakyat, tapi lebih suka mewujudkan apa yang menjadi impian dan harapan rakyat. Selain itu, ia juga menyimpan kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayaan dan kekuatan supranatural yang luar biasa (Abdul Munir Mulkhan: 2001).
Segala kelebihan pada diri Semar, baru bisa digunakan pada saat penindasan dan ketidakadilan menjadi pemandangan setiap hari. Dengan kata lain, sosok Semar tidak bisa muncul pada setiap saat, tapi butuh momen yang tepat, yakni pada saat kondisi sosial politik mengalami kesemrawutan. Ketika situasi sosial, ekonomi dan politik jagat kehidupan (dalam dunia wayang) mulai ditimpa kekacauan, tokoh Semar akan muncul secara tiba-tiba. Kemelut akan segera berakhir pada saat Semar mengoperasikan kedigdayaannya, sehingga mempengaruhi keputusan pemerintahan dan kekuasaan para dewata (Abdul Munir Mulkhan: 2003). Semar memang ada dalam dunia mitologi, tapi yang terpenting bagaimana mitos itu menjadi kesadaran budaya dan politik sebagai referensi seluruh dinamika kehidupan sebuah bangsa. Semar identik dengan kepintaran, kecerdikan, kesempurnaan, kebijakan dan sifat terpuji lainnya, tapi untuk membebaskan bangsa Indononesia dari berbagai macam keterpurukan seperti dewasa ini, sosok pemimpin mendatang perlu juga membalut hatinya dengan ajaran sufi.
Sebagai ajaran yang mengedepankan cinta kasih, kebijaksanaan, dan kebenaran hakiki, ajaran sufi memberikan kontribusi yang hampir sama dengan Semar, khususnya dalam hal keharmonisan dan pengayoman untuk umat manusia. Ajaran sufi menyerukan manusia agar mau membebaskan diri dari segala nafsu binatang, hasrat menguasai orang lain, sikap memperkaya diri sendiri, benci terhadap kelompok lain, rakus kekuasaan, mencuri harta rakyat, dan sederet sifat buruk lainnya. Bagi seorang sufi, segala tindakan selalu didasarkan pada sifat keikhlasan dan ketulusan tanpa ada tendensi untuk mendapat pujian manusia yang sifatnya sesaat. Selain itu, ajaran sufi juga mengutamakan cinta kasih antarsesama, bukan saling menghina, menyalahkan, menghujat atau menyudutkan orang lain. Ia lebih suka mengoreksi diri sendiri daripada mengoreksi orang lain. Juga lebih suka mencari kesalahan sendiri daripada kesalahan orang lain dan mau mengadakan perbaikan.
Cinta seorang sufi terhadap manusia melampaui batas ideologi, etnis, ras, suku bangsa, bahkan agama. Ambil contoh ajaran cinta seorang sufi terkemuka, Jalaluddin Rumi. Sebagai tanda kecintaannya terhadap sesama manusia, ia berkata, “Orang kafir, penyembah berhala, orang munafik, dan para pembunuh dan siapapun namanya, mereka semua adalah sahabatku.” Ujaran ini memang kontroversial, namun ini ia lontarkan dalam rangka mendidik manusia agar menyadari bahwa seluruh umat manusia (termasuk para penjahat) adalah saudara, bukan musuh yang harus dibenci atau diperangi, tapi harus ayomi dan diarahkan.
Dalam mendayung bahtera bangsa yang rentan dihantam ombak dan badai, kehadiran nahkoda (baca: presiden) berkarakter seperti Semar amat didambakan masyarakat. Ia memiliki kemampuan “mengemudi” dengan baik. Ia ahli dalam mengatasi berbagai macam krisis, meredam berbagai konflik, mencegah gejala disintegrasi bangsa, memberantas KKN; pun pandai menciptakan lapangan pekerjaan, mengangkat ekonomi rakyat bawah dan pada akhirnya mampu membawa bangsa pada perubahan yang amat signifikan.
Posisi presiden berkarakter Semar akan semakin tangguh dan tak tergoyahkan bila ia menghias hatinya dengan ajaran sufi. Dengan ajaran cinta kasih, presiden yang berhati sufi akan mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan pada titik ekstrem, ia takkan merasa kenyang jika melihat rakyatnya masih kelaparan, takkan bisa tidur nyenyak sebelum menyaksikan rakyatnya sejahtera, dan takkan naik mobil mewah jika rakyatnya banyak yang jalan kaki.
Lantas, siapa dari dua pasang capres dan cawapres —Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi— yang bekarakter layaknya Semar dan berhati sufi? Jawabnya tentu ada dalam benak masing-masing rakyat Indonesia. Bila kita sudah menimbang dengan pikiran jernih dan meyakini dengan sepenuh hati terhadap salah satu pasangan capres dan cawapres yang memiliki (atau paling tidak mendekati) dua kriteria kepemimpinan ideal sebagaimana disebutkan di atas, maka pasangan itulah yang seharusnya kita pilih untuk memimpin bangsa Indonesia. []
A. Sihabulmillah, Penulis adalah staf peneliti di Komarona, Yogyakarta, alumnus PP al-Islah, Bungah, Gresik dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

KIAI SEMAR TOURING

Oleh : H. Wahyu Wibowo

Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dlam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri, paling tidak ini pendapat dari kepercayaan orang jawa yang mengenal ilmu kejawen.

Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, hal ini menandakan bahwa Batara ismaya adalah pebentukan dari sesuatu yang penuh dengan ketulusan dan kejujuran.

Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.

Semar adalah tipologi yang rajin inspeksi mendadak kepada anak buah dan anak didiknya, bahkan murid-muridnya mengenal sang Batara sebagai sosok yang penuh perhatian terhadap bahwan, tidak pernah canggung-canggung dan selalu dalam kondisi siap dengan kejujuran.

Ketika melakukan perjalanan (touring) ke dunia, Semar selalu datang paling terakhir setelah semua anak didiknya sampai pada tujuannya, bahkan Semar kadang-kadang tiba di suatu tujuan ketika tempat itu sudah hingar bingar denganberbagai dinamika.

Nasehat Semar pada saat mengutus anak didiknya melaksanakan touring selalu berkata ”alon-alon waton kelakon”, hal ini dimaksudkan agar seluruh anak didiknya selalu memaki falsafah pelan-pelan yang penting selesai tepat waktu, tidak perlu buru-buru dan tergesa-gesa yang akhirnya pekerjaannya tidak benar.

”Alon-alon waton kelakon” memang merupakan falsafah jawa yang cukup dalam untuk dipahami sebagai hal yang sangat penting untuk diikuti dengan tujuan agar semua berjalan sesuai dengan aturan dan prosedur, tidak perlu grasa-grusu dan mentang-mentang. Touring yang dikenal saat ini merupakan perjalanan yang biasanya selalu dalam kondisi buru-buru, ada beberapa orang yang memiliki kesepahaman bahwa toruing adalah hal yang perl;u dilakukan dengan cepat dan kilat, bahkan kalau perlu menabark aturan atau ketentuanpun di halalkan, ada lagi yang seakan-akan mereka sebagai orang yang kuat dan hebat, mirip preman pasar, mengendarakan kendaraan sudah tidak menggunakan aturan lagi, trotoarpun dihajar, nyalip tanpa permisi, dan bikin kaget setengah mati, akhirnya yang keluar malah umpatan dan sumpah serapah. Endingnya....gudubrakkkkkkk........kroncenggggggg.........

Maka pikirkanlah, bahwa touringnya kiai Semar selalu berpedoman pada alon alon waton kelakon.
  • Jangan mentang-mentang
  • Jangan sok jago
  • Selalu bersabar

Kamis, September 13, 2007

PERLENGKAPAN BERKENDARAAN untuk KEAMANAN, dan KESELAMATAN


1. Mengunakan Helm Full Face penumpang/boncenger di harapkan mengunakan Helm Open Face.

2. Mengunakan Sarung Tangan (disarankan yang ada pelindung kerasnya / hard protector), berlaku untuk rider dan penumpang.

3. Mengunakan Sepatu yang tertutup hingga tumit atau boot, berlaku untuk rider dan penumpang.

4. Membawa Rain Gear, atau jas hujan dengan bagian atas dan bawah terpisah, jas hujan dengan model ponco tidak diperbolehkan, berlaku untuk rider dan penumpang. Dan membawa Rain Gear untuk sepatu, pemakaian selain sepatu dilarang.

5. Mengunakan Jaket yang tahan terhadap terpaan angin (wind breaker) atau mengunakan rompi tambahan, berlaku untuk rider dan penumpang. Penumpang tidak diharuskan mengunakan rompi tambahan. menyarankan mengunakan Jaket yang mengunakan pelindung dari bahan keras (hard protector).



MARI SIAPKAN UNTUK KESELAMATAN DAN KENYAMANAN DIPERJALANAN

TOURING PERDANA (lanjutan)


Jalan beriringan dengan 20 kendaraan cukup menyulitkan, apalagi pada saat jalan macet total, motor hanya bisa ditekan gas paling pol 10 km, alhasil lama kelamaan rombongan buyar.

Pe-touring NBC, bisa dibilang hanya modal nekat, setelah hujan reda meraka tetap saja ’menyemplak’ kendaraannya walaupun hanya dengan kecepatan 10 km per jam, jalan merayap dimulai dari lapangan parkir kantor sampai simpangan Ragunan, di samping lampu merah Ragunan, rombongan berhenti untuk mengecek anggotanya, ada anggota yang merasa kehilangan temennya, H. Marhali. dengan sepeda motor kesayangannya honda bebek supra paling terakhir sampai di simpangan Ragunan, langsung komentar, ”ada satu motor yang kebablasan ke arah kebun binantang.....”, Bro’ Dian (yang pake Thunder) langsung nimpalin, ”yang mana li......?”, di belakang sedikit tegang, karena merasa ada yang nyelonong bablas ke kebun binatang, terpaksa kapten jalanan Bro’ H. Ismoyo turun tangan, usut punya usut, ternyata yang bablas adalah Bro’ H. Wahyu Utomo, yang memang pada saat touring perdana tidak bisa ikut karena kesibukannya.

Rombongan berjalan lagi, baru lebih kurang 200 meter dari simpangan Ragunan rombongan pecah, ada yang langsung ke arah lebak bulus, ada yang belok ke kiri melalui Cilandak, dengan begitu terjadilah dua rombongan, tapi akhirnya bertemu di pertigaan Semplak. Pada saat istirahat di pertigaan Semplak, ternyata ada satu anggota yang tertinggal, gak tau apa alasannya, satu orang masih berada di Pondok Cabe, Bro’ H. Yudi Setiawan, kebetulan anggota NBC yang satu ini jarang naik motor jauh-jauh, paling jauh ke pasar, nah kalo mau jauh naik mobil, jadi ya mohon maklum, masih bagus ketinggal dan tidak ilang terus masih bisa nyusul. bersambung......

Selasa, September 11, 2007

TOURING PERDANA


Hari Jum’at tanggal 7 September 2007, komunitas pengendara motor di lingkungan Dep. Agama RI dan mitranya melakukan touring (jalan-jalan) perdana, hampir lima puluh persen anggota yang telah tergabung antusias untuk melakukan perjalanan bareng.

Persiapan telah dilakukan sejak pukul 16.00 wib, waktu selesai jam kantor, seluruh rider dengan berbagai perlengkapan safety ridingnya, ada dua rider yang datang ke base camp terlambat yaitu bro’ latif sama bro’ ucim bahkan bro’ ucim baru sampai base campe jam 18.30 an. Namun hal yang tidak diduga, pada jam 18.00 wib hujan mengguyur sekitar Jakarta.

Hujan lebat yang pebuh hikmah dimanfaatkan seluruh rider berkumpul dan sekaligus solat maghrib di musholla al munawwar. Sembari menunggu hujan selesai seluruh rider bercengkrama, banyak komentar yang dapat menghibur diri, semisal bro’ moyo, dia bilang ”wah hujan akan menjadi pertanda komunitas ini akan besar”, semua mengamininya, bahkan bro’ (bapak) turmudi bilang ”nanti kalo hujan tidak reda, kita keliling parkiran kantor terus pulang, kan sama saja sudah turing”.


Setelah hujan reda, seluruh anggota bersiap-siap, seluruh perlengkapan tidak ada yang ketinggalan, sirine tanda siap berangkat berkumandang.......treenggggg...............diawali bro' ismoyo....kemudian H. Turmudi dan istri.....selanjutnya berturut-turut anggota yang lain.......jalan depan kantor yang macet tidak menyurutkan semangat......kerepotan melambaikan tangan kepada satpam menambah harunya keberangkatan touring perdana.....

BUKU PUTIH ISLAMISASI DI JAWA


Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan oleh Prof. Hasanu Simon dan telah mendapat izin dari beliau untuk disebarluaskan. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang mungkin masih ada di dalam makalah tersebut, tentunya ini merupakan usaha yang patut didukung oleh da’i-da’i Islam yang lurus dan benar manhajnya.
Penyelenggara mengundang tiga orang pembicara yangmemang cukup berkompeten pada bidang tersebut bahkan merupakan ahlinya, yaitu Dr. Damarjati Supajar, Dr. Abdul Munir Mulkhan (pengarang buku tersebut) dan Prof. Hasanu Simon (guru besar sosiologi kehutanan dan lingkungan UGM).
Singkat cerita, pada diskusi tersebut dua pembicara pertama, yaitu Dr. Damarjati Supajar dan Dr. Abdul Munir Mulkhan berusaha untuk mendukung ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Hal tersebut dibuktikan dengan pembelaaan tanpa cela terhadap syekh tersebut dan juga pengajuan alternatif wacana terhadap para peserta bahwa ajaran tersebut silahkan bila mau diikuti, toh dalam dunia Islam tokoh seperti itu sudah pernah ada, seperti misalnya Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lain. Mereka juga memberi pilihan tersebut dengan alasan ajaran-ajaran Islam sendiri pada hakikatnya dipraktekkan sebagai rutinitas dan sebagai tafsir dari para pengikutnya, sehingga sholat dan syariat-syariat lainnya bisa saja diganti dengan bentuk-bentuk lainnya (jelas ini pendapat yang salah). Menurut mereka lagi, syariat dalam ajaran Syekh Siti Jenar itu dipraktekkan oleh orang yang hidup, sedangkan hidup yang sebenarnya bagi manusia itu adalah nanti di akherat. Sedangkan di dunia pada hakekatnya adalah mati. Sehingga sholat,puasa, zakat haji itu tidak perlu.
Ajaran tersebut nampak semakin subur diikuti oleh umat Islam dewasa ini, apalagi dengan pemimpin Indonesia pada saat itu (mantan Presiden Gus dur) termasuk yang menyetujui dan mendukung ajaran tersebut (sufi/kebatinan/kejawen). Pendukung yang lain yang cukup dikenal adalah Anand Khrisna. Bila terus dibiarkan, ajaran tersebut akan semakin mengaburkan Islam sebagai agama yang murni dari kesyirikan dan bid’ah , menjunjung tinggi akal manusia, dan menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai andil dalam pemberantasan penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat), kami tampilkan sebuah tanggapan dalam acara tersebut.
Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VII di Jakarta tahun 1978, orientasi system pengelolaan hutan mengalami perubahansecara fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat sejak zaman kuno dulu. Disitu saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik. Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejaranh yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (socialforestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan.
Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama Het Book van Mbonang, yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi. Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia.
Jadi, seandainya tidak ada Het Book van MBonang, kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi data obyektif. Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu, yang berkembang adalah kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syek Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan.
Walisongo Dalam Dunia Mitos
Kisah walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan. Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW. Yang lahir 9 abad sebelum era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di tho’if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bolpoin ke pasukan majapahit. Begitu dilemparkan bolpoin tersebut, segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian diberinama keris kolomunyeng, yang oleh kyai Langitan diberikan kepada presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang sudah digelar dan ternyata tidak ampuh.
Kisah sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal (serpihan potongan kayu) dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi dan heboh ; salah seorang pembantunya dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat cerita ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk elips sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa Nabi Ibrahim as, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo yang lahir dari keluarga penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwa untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan zaman dibandingkan kisah orang-orang yang menjadi panutannya, padahal selisih waktu hidup mereka sangat jauh.
Het Book van Mbonang yang telah melahirkan dua orang Doktor dan belasan Master bangsa Belanda itu memberikan petunjuk pada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif. Het Book van Mbonang tidak menghasilkan kisah keris Kolomunyeng, kisah Cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya. Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tetapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan.
Itulah sebabnya, saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku tentang Syekh Siti Jenar karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu. Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan aqidah Islamiyah, tetapi sudah ketinggalan zaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara umum, dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang ? Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.
Siapa Syekh Siti Jenar Itu
Kalau seorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu, isi buku dapat dijadikan tolak ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga berwarna kuning. Sedikit sekali seorang yang berpaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal tersebut sangat bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi karena bidang pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi, tidak mustahil kalau isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang berternak Kambing Ettawa menerangkan tentang seluk beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa. Judul buku karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini adalah : “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar”. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai 6 pada bab 1 tidak relevan. Bab 1 diberi judul : “Melongok jalan sufi : Humanisme Islam Bagi Semua”. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya ; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak, dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan mesti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan (paragraf 1 bab 1 hal. 3-10). Di dalam paragraf tersebut, diterangkan asal usul Syekh Siti Jenar yang tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shodiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang putra raja pendeta dari Cirebon yang bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Didalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :
1) Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta yang bernama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi, beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2) Dihalaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama. Padahal ajaran kedua agama itu sangat berbeda dan antar keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian-pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3) Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal sekali.
4) Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang raja pendeta menyihir anaknya menjadi cacing ? Ilmu apakah yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk mengubah seorang menjadi cacing ? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketentraman batinnya ? Cerita seorang mampu merubah orang menjadi binatang adalah cerita kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5) Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menambal perahu Sunan Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu Ghoib kepada sunan Kalijogo. Betapa luarbiasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban sedang cacing Syekh Siti Jenar di buang di daerah Cirebon. Di tempat lain, dikatakan bahwa sunan Mbonang mengajar sunan Kalijogo di perahu yang sedang mengapung di sebuah rawa. Adakah orang menambal perahu dengan tanah ? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh tanah yang membawa cacing.
6) Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu Ghaib. Tidak pernah diterangkan bagaimana hubungan Hasan Ali dengan sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali kemudian merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu Ghaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu Ghaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung ?
Alhasil, seperti dikatakan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu, banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, tempat lahirnya, dimana sebenarnya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah : Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama, sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Dimana letak Siti Jenar atau Lemah Abang tersebut sampai sekarang tidak pernah jelas ; padahal tokoh terkenal yang hidup pada zaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidakjelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu, apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu ? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti.
Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada., mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh kedepan jangkauannya, tinggi muatan IPTEKnya., sakral dan di hormati oleh masyrakat dunia. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu, sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad SAW, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak aqidah Islamiyah ini.
Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal-usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau dijumpai dalam media cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum dan penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SD, di desa kelahiran ibu saya Palempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu). Mengapa demikian ? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo sendiri menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melainkan sholat Da’im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa ilaaha illallah kapan saja dan dimana saja tanpa harus wudhu dan rukuk sujud . Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas (tersita) untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjati diri seperti tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berpaham manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah dengan tauhid murni, Sunan Kalijogo mengutus muridnya yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie, termasuk Ny Ainun Habibie.
Walisongo
Sekali lagi, kisah walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa” telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam kisah mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan aqidah islamiyyah. Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua orang temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaya dengan tarian oleh penari putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan, pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka.
Namun para pengagum Walisongo akan kecelek kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinal yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah. Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim yang beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara (ahli tata negara) dari Turki. Berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al-Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli tata negara).2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.4) Maulana Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko.5) Maulana Malik Isro’il, dari Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata negara).6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina.Maulana Aliyudin, dari Palestina.9) Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni oleh Jin jahat (ahli ruqyah).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau siapa saja, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya. Dengan Infromasi baru itu, menjadi Jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula adalah tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul “Ajaran Syekh Siti Jenar” karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr. Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar.
Ki Panji Notoroto memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal dimasyarakat tidak berkembang sama sekali. Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak didasari dengan ilmu. Penafsiran Al-Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo, agama yang dianut kerajaan adalah agama Manuggaling Kawulo Gusti.
Disamping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh. Sampai dengan era Singosari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha, dan Animisme yang sering disebut agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singosari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkatan dari Budha dan Ja mewakili agama Jawa. Nampaknya sintesa itulah yang ditiru oleh politikus besar di Indonesia akhir dekade 1950-an dulu, yaitu Nasakom.
Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan (sembunyi-sembunyi). Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal adalah Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di domplengkan kepada salah satu anggota wali songo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti yang telah disebutkan dimuka. Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan tanpa tela’ah (analisis) yang didasarkan pada dua hal, yaitu logika dan aqidah.
Pernyataan-Pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini (Dr. Abdul Munir Mulkhan) telah saya singgung dimuka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah salah seorang tokoh organisasi Islam di Indonesia (Muhammadiyah). Misalnya pernyataan yang menyebutkan “ngurusi Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya”. Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya gusti Allah) di daerah Magelang pada tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan. Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rasulallah SAW juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik dan secara ritual saja. Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslim harus memenuhi dua aspek, yaitu Hablumminallah wa hablum minannas (hubungan mahluk dengan Allah dan hubungan mahluk dengan sesamanya)
Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibandingkan mempelajari Fiqih atau ilmu agama lainnya. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara Fiqih, Sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleknya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar tauhid merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis (Dr. Abdul Munir Mulkhan) juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al-Qur’an : “Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh mempelajari Al-Qur’an”. Disini nampaknya Dr. Abdul Munir Mulkhan lupa bahwa untuk belajar Al-Qur’an ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien (Al-Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al-Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al-Qur’an yang memenuhi kedua syarat tersebut. Jangan belajar Al-Qur’an kepada pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah Gerakan untuk Melawan Islam.
Catatan Kecil
Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada buku Syekh Siti Jenar Karya Abdul Munir Mulkhan ini :
1) Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.2) Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan sistematika penulisan.3) Bab 1 diakhiri dengan daftar kepustakaan, bab lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab 1 hampir sama dengan yang tercantum dalam sumber pustaka.4) Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman 2 yang menyebut : ……….. sejarah Islam (Madjid, Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis : …….. Menurut Nurcholis Madjid (Khazanah, 1984, hlm 33).5) Pada bab 4, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buku karya Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis didalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini, bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup disitir saja.
Beberapa catatan lain memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor !.
Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima’afkan. Semoga yang saya lakukan berguna berwasiat-wasiatan (saling menasehati) didalam kebenaran Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan oleh Prof. Hasanu Simon dan telah mendapat izin dari beliau untuk disebarluaskan. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang mungkin masih ada di dalam makalah tersebut, tentunya ini merupakan usaha yang patut didukung oleh da’i-da’i Islam yang lurus dan benar manhajnya.
Penyelenggara mengundang tiga orang pembicara yangmemang cukup berkompeten pada bidang tersebut bahkan merupakan ahlinya, yaitu Dr. Damarjati Supajar, Dr. Abdul Munir Mulkhan (pengarang buku tersebut) dan Prof. Hasanu Simon (guru besar sosiologi kehutanan dan lingkungan UGM).
Singkat cerita, pada diskusi tersebut dua pembicara pertama, yaitu Dr. Damarjati Supajar dan Dr. Abdul Munir Mulkhan berusaha untuk mendukung ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Hal tersebut dibuktikan dengan pembelaaan tanpa cela terhadap syekh tersebut dan juga pengajuan alternatif wacana terhadap para peserta bahwa ajaran tersebut silahkan bila mau diikuti, toh dalam dunia Islam tokoh seperti itu sudah pernah ada, seperti misalnya Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lain. Mereka juga memberi pilihan tersebut dengan alasan ajaran-ajaran Islam sendiri pada hakikatnya dipraktekkan sebagai rutinitas dan sebagai tafsir dari para pengikutnya, sehingga sholat dan syariat-syariat lainnya bisa saja diganti dengan bentuk-bentuk lainnya (jelas ini pendapat yang salah). Menurut mereka lagi, syariat dalam ajaran Syekh Siti Jenar itu dipraktekkan oleh orang yang hidup, sedangkan hidup yang sebenarnya bagi manusia itu adalah nanti di akherat. Sedangkan di dunia pada hakekatnya adalah mati. Sehingga sholat,puasa, zakat haji itu tidak perlu.
Ajaran tersebut nampak semakin subur diikuti oleh umat Islam dewasa ini, apalagi dengan pemimpin Indonesia pada saat itu (mantan Presiden Gus dur) termasuk yang menyetujui dan mendukung ajaran tersebut (sufi/kebatinan/kejawen). Pendukung yang lain yang cukup dikenal adalah Anand Khrisna. Bila terus dibiarkan, ajaran tersebut akan semakin mengaburkan Islam sebagai agama yang murni dari kesyirikan dan bid’ah , menjunjung tinggi akal manusia, dan menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai andil dalam pemberantasan penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat), kami tampilkan sebuah tanggapan dalam acara tersebut.
Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VII di Jakarta tahun 1978, orientasi system pengelolaan hutan mengalami perubahansecara fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat sejak zaman kuno dulu. Disitu saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik. Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejaranh yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (socialforestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan.
Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama Het Book van Mbonang, yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi. Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia.
Jadi, seandainya tidak ada Het Book van MBonang, kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi data obyektif. Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu, yang berkembang adalah kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syek Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan.
Walisongo Dalam Dunia Mitos
Kisah walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan. Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW. Yang lahir 9 abad sebelum era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di tho’if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bolpoin ke pasukan majapahit. Begitu dilemparkan bolpoin tersebut, segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian diberinama keris kolomunyeng, yang oleh kyai Langitan diberikan kepada presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang sudah digelar dan ternyata tidak ampuh.
Kisah sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal (serpihan potongan kayu) dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi dan heboh ; salah seorang pembantunya dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat cerita ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk elips sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa Nabi Ibrahim as, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo yang lahir dari keluarga penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwa untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan zaman dibandingkan kisah orang-orang yang menjadi panutannya, padahal selisih waktu hidup mereka sangat jauh.
Het Book van Mbonang yang telah melahirkan dua orang Doktor dan belasan Master bangsa Belanda itu memberikan petunjuk pada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif. Het Book van Mbonang tidak menghasilkan kisah keris Kolomunyeng, kisah Cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya. Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tetapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan.
Itulah sebabnya, saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku tentang Syekh Siti Jenar karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu. Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan aqidah Islamiyah, tetapi sudah ketinggalan zaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara umum, dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang ? Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.
Siapa Syekh Siti Jenar Itu
Kalau seorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu, isi buku dapat dijadikan tolak ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga berwarna kuning. Sedikit sekali seorang yang berpaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal tersebut sangat bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi karena bidang pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi, tidak mustahil kalau isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang berternak Kambing Ettawa menerangkan tentang seluk beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa. Judul buku karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini adalah : “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar”. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai 6 pada bab 1 tidak relevan. Bab 1 diberi judul : “Melongok jalan sufi : Humanisme Islam Bagi Semua”. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya ; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak, dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan mesti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan (paragraf 1 bab 1 hal. 3-10). Di dalam paragraf tersebut, diterangkan asal usul Syekh Siti Jenar yang tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shodiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang putra raja pendeta dari Cirebon yang bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Didalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :
1) Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta yang bernama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi, beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2) Dihalaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama. Padahal ajaran kedua agama itu sangat berbeda dan antar keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian-pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3) Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal sekali.
4) Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang raja pendeta menyihir anaknya menjadi cacing ? Ilmu apakah yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk mengubah seorang menjadi cacing ? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketentraman batinnya ? Cerita seorang mampu merubah orang menjadi binatang adalah cerita kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5) Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menambal perahu Sunan Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu Ghoib kepada sunan Kalijogo. Betapa luarbiasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban sedang cacing Syekh Siti Jenar di buang di daerah Cirebon. Di tempat lain, dikatakan bahwa sunan Mbonang mengajar sunan Kalijogo di perahu yang sedang mengapung di sebuah rawa. Adakah orang menambal perahu dengan tanah ? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh tanah yang membawa cacing.
6) Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu Ghaib. Tidak pernah diterangkan bagaimana hubungan Hasan Ali dengan sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali kemudian merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu Ghaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu Ghaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung ?
Alhasil, seperti dikatakan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu, banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, tempat lahirnya, dimana sebenarnya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah : Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama, sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Dimana letak Siti Jenar atau Lemah Abang tersebut sampai sekarang tidak pernah jelas ; padahal tokoh terkenal yang hidup pada zaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidakjelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu, apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu ? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti.
Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada., mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh kedepan jangkauannya, tinggi muatan IPTEKnya., sakral dan di hormati oleh masyrakat dunia. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu, sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad SAW, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak aqidah Islamiyah ini.
Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal-usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau dijumpai dalam media cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum dan penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SD, di desa kelahiran ibu saya Palempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu). Mengapa demikian ? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo sendiri menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melainkan sholat Da’im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa ilaaha illallah kapan saja dan dimana saja tanpa harus wudhu dan rukuk sujud . Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas (tersita) untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjati diri seperti tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berpaham manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah dengan tauhid murni, Sunan Kalijogo mengutus muridnya yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie, termasuk Ny Ainun Habibie.
Walisongo
Sekali lagi, kisah walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa” telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam kisah mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan aqidah islamiyyah. Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua orang temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaya dengan tarian oleh penari putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan, pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka.
Namun para pengagum Walisongo akan kecelek kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinal yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah. Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim yang beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara (ahli tata negara) dari Turki. Berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al-Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli tata negara).2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.4) Maulana Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko.5) Maulana Malik Isro’il, dari Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata negara).6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina.Maulana Aliyudin, dari Palestina.9) Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni oleh Jin jahat (ahli ruqyah).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau siapa saja, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya. Dengan Infromasi baru itu, menjadi Jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula adalah tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul “Ajaran Syekh Siti Jenar” karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr. Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar.
Ki Panji Notoroto memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal dimasyarakat tidak berkembang sama sekali. Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak didasari dengan ilmu. Penafsiran Al-Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo, agama yang dianut kerajaan adalah agama Manuggaling Kawulo Gusti.
Disamping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh. Sampai dengan era Singosari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha, dan Animisme yang sering disebut agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singosari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkatan dari Budha dan Ja mewakili agama Jawa. Nampaknya sintesa itulah yang ditiru oleh politikus besar di Indonesia akhir dekade 1950-an dulu, yaitu Nasakom.
Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan (sembunyi-sembunyi). Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal adalah Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di domplengkan kepada salah satu anggota wali songo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti yang telah disebutkan dimuka. Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan tanpa tela’ah (analisis) yang didasarkan pada dua hal, yaitu logika dan aqidah.
Pernyataan-Pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini (Dr. Abdul Munir Mulkhan) telah saya singgung dimuka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah salah seorang tokoh organisasi Islam di Indonesia (Muhammadiyah). Misalnya pernyataan yang menyebutkan “ngurusi Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya”. Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya gusti Allah) di daerah Magelang pada tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan. Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rasulallah SAW juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik dan secara ritual saja. Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslim harus memenuhi dua aspek, yaitu Hablumminallah wa hablum minannas (hubungan mahluk dengan Allah dan hubungan mahluk dengan sesamanya)
Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibandingkan mempelajari Fiqih atau ilmu agama lainnya. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara Fiqih, Sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleknya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar tauhid merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis (Dr. Abdul Munir Mulkhan) juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al-Qur’an : “Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh mempelajari Al-Qur’an”. Disini nampaknya Dr. Abdul Munir Mulkhan lupa bahwa untuk belajar Al-Qur’an ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien (Al-Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al-Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al-Qur’an yang memenuhi kedua syarat tersebut. Jangan belajar Al-Qur’an kepada pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah Gerakan untuk Melawan Islam.
Catatan Kecil
Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada buku Syekh Siti Jenar Karya Abdul Munir Mulkhan ini :
1) Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.2) Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan sistematika penulisan.3) Bab 1 diakhiri dengan daftar kepustakaan, bab lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab 1 hampir sama dengan yang tercantum dalam sumber pustaka.4) Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman 2 yang menyebut : ……….. sejarah Islam (Madjid, Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis : …….. Menurut Nurcholis Madjid (Khazanah, 1984, hlm 33).5) Pada bab 4, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buku karya Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis didalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini, bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup disitir saja.
Beberapa catatan lain memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor !.
Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima’afkan. Semoga yang saya lakukan berguna berwasiat-wasiatan (saling menasehati) didalam kebenaran Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan oleh Prof. Hasanu Simon dan telah mendapat izin dari beliau untuk disebarluaskan. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang mungkin masih ada di dalam makalah tersebut, tentunya ini merupakan usaha yang patut didukung oleh da’i-da’i Islam yang lurus dan benar manhajnya.
Penyelenggara mengundang tiga orang pembicara yangmemang cukup berkompeten pada bidang tersebut bahkan merupakan ahlinya, yaitu Dr. Damarjati Supajar, Dr. Abdul Munir Mulkhan (pengarang buku tersebut) dan Prof. Hasanu Simon (guru besar sosiologi kehutanan dan lingkungan UGM).
Singkat cerita, pada diskusi tersebut dua pembicara pertama, yaitu Dr. Damarjati Supajar dan Dr. Abdul Munir Mulkhan berusaha untuk mendukung ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Hal tersebut dibuktikan dengan pembelaaan tanpa cela terhadap syekh tersebut dan juga pengajuan alternatif wacana terhadap para peserta bahwa ajaran tersebut silahkan bila mau diikuti, toh dalam dunia Islam tokoh seperti itu sudah pernah ada, seperti misalnya Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lain. Mereka juga memberi pilihan tersebut dengan alasan ajaran-ajaran Islam sendiri pada hakikatnya dipraktekkan sebagai rutinitas dan sebagai tafsir dari para pengikutnya, sehingga sholat dan syariat-syariat lainnya bisa saja diganti dengan bentuk-bentuk lainnya (jelas ini pendapat yang salah). Menurut mereka lagi, syariat dalam ajaran Syekh Siti Jenar itu dipraktekkan oleh orang yang hidup, sedangkan hidup yang sebenarnya bagi manusia itu adalah nanti di akherat. Sedangkan di dunia pada hakekatnya adalah mati. Sehingga sholat,puasa, zakat haji itu tidak perlu.
Ajaran tersebut nampak semakin subur diikuti oleh umat Islam dewasa ini, apalagi dengan pemimpin Indonesia pada saat itu (mantan Presiden Gus dur) termasuk yang menyetujui dan mendukung ajaran tersebut (sufi/kebatinan/kejawen). Pendukung yang lain yang cukup dikenal adalah Anand Khrisna. Bila terus dibiarkan, ajaran tersebut akan semakin mengaburkan Islam sebagai agama yang murni dari kesyirikan dan bid’ah , menjunjung tinggi akal manusia, dan menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai andil dalam pemberantasan penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat), kami tampilkan sebuah tanggapan dalam acara tersebut.
Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VII di Jakarta tahun 1978, orientasi system pengelolaan hutan mengalami perubahansecara fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat sejak zaman kuno dulu. Disitu saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik. Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejaranh yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (socialforestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan.
Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama Het Book van Mbonang, yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi. Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia.
Jadi, seandainya tidak ada Het Book van MBonang, kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi data obyektif. Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu, yang berkembang adalah kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syek Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan.
Walisongo Dalam Dunia Mitos
Kisah walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan. Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW. Yang lahir 9 abad sebelum era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di tho’if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bolpoin ke pasukan majapahit. Begitu dilemparkan bolpoin tersebut, segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian diberinama keris kolomunyeng, yang oleh kyai Langitan diberikan kepada presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang sudah digelar dan ternyata tidak ampuh.
Kisah sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal (serpihan potongan kayu) dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi dan heboh ; salah seorang pembantunya dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat cerita ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk elips sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa Nabi Ibrahim as, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo yang lahir dari keluarga penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwa untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan zaman dibandingkan kisah orang-orang yang menjadi panutannya, padahal selisih waktu hidup mereka sangat jauh.
Het Book van Mbonang yang telah melahirkan dua orang Doktor dan belasan Master bangsa Belanda itu memberikan petunjuk pada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif. Het Book van Mbonang tidak menghasilkan kisah keris Kolomunyeng, kisah Cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya. Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tetapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan.
Itulah sebabnya, saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku tentang Syekh Siti Jenar karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu. Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan aqidah Islamiyah, tetapi sudah ketinggalan zaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara umum, dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang ? Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.
Siapa Syekh Siti Jenar Itu
Kalau seorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu, isi buku dapat dijadikan tolak ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga berwarna kuning. Sedikit sekali seorang yang berpaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal tersebut sangat bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi karena bidang pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi, tidak mustahil kalau isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang berternak Kambing Ettawa menerangkan tentang seluk beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa. Judul buku karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini adalah : “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar”. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai 6 pada bab 1 tidak relevan. Bab 1 diberi judul : “Melongok jalan sufi : Humanisme Islam Bagi Semua”. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya ; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak, dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan mesti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan (paragraf 1 bab 1 hal. 3-10). Di dalam paragraf tersebut, diterangkan asal usul Syekh Siti Jenar yang tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shodiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang putra raja pendeta dari Cirebon yang bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Didalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :
1) Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta yang bernama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi, beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2) Dihalaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama. Padahal ajaran kedua agama itu sangat berbeda dan antar keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian-pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3) Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal sekali.
4) Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang raja pendeta menyihir anaknya menjadi cacing ? Ilmu apakah yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk mengubah seorang menjadi cacing ? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketentraman batinnya ? Cerita seorang mampu merubah orang menjadi binatang adalah cerita kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5) Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menambal perahu Sunan Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu Ghoib kepada sunan Kalijogo. Betapa luarbiasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban sedang cacing Syekh Siti Jenar di buang di daerah Cirebon. Di tempat lain, dikatakan bahwa sunan Mbonang mengajar sunan Kalijogo di perahu yang sedang mengapung di sebuah rawa. Adakah orang menambal perahu dengan tanah ? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh tanah yang membawa cacing.
6) Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu Ghaib. Tidak pernah diterangkan bagaimana hubungan Hasan Ali dengan sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali kemudian merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu Ghaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu Ghaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung ?
Alhasil, seperti dikatakan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu, banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, tempat lahirnya, dimana sebenarnya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah : Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama, sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Dimana letak Siti Jenar atau Lemah Abang tersebut sampai sekarang tidak pernah jelas ; padahal tokoh terkenal yang hidup pada zaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidakjelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu, apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu ? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti.
Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada., mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh kedepan jangkauannya, tinggi muatan IPTEKnya., sakral dan di hormati oleh masyrakat dunia. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu, sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad SAW, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak aqidah Islamiyah ini.
Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal-usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau dijumpai dalam media cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum dan penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SD, di desa kelahiran ibu saya Palempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu). Mengapa demikian ? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo sendiri menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melainkan sholat Da’im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa ilaaha illallah kapan saja dan dimana saja tanpa harus wudhu dan rukuk sujud . Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas (tersita) untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjati diri seperti tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berpaham manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah dengan tauhid murni, Sunan Kalijogo mengutus muridnya yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie, termasuk Ny Ainun Habibie.
Walisongo
Sekali lagi, kisah walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa” telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam kisah mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan aqidah islamiyyah. Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua orang temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaya dengan tarian oleh penari putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan, pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka.
Namun para pengagum Walisongo akan kecelek kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinal yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah. Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim yang beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara (ahli tata negara) dari Turki. Berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al-Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli tata negara).2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.4) Maulana Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko.5) Maulana Malik Isro’il, dari Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata negara).6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina.Maulana Aliyudin, dari Palestina.9) Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni oleh Jin jahat (ahli ruqyah).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau siapa saja, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya. Dengan Infromasi baru itu, menjadi Jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula adalah tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul “Ajaran Syekh Siti Jenar” karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr. Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar.
Ki Panji Notoroto memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal dimasyarakat tidak berkembang sama sekali. Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak didasari dengan ilmu. Penafsiran Al-Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo, agama yang dianut kerajaan adalah agama Manuggaling Kawulo Gusti.
Disamping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh. Sampai dengan era Singosari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha, dan Animisme yang sering disebut agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singosari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkatan dari Budha dan Ja mewakili agama Jawa. Nampaknya sintesa itulah yang ditiru oleh politikus besar di Indonesia akhir dekade 1950-an dulu, yaitu Nasakom.
Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan (sembunyi-sembunyi). Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal adalah Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di domplengkan kepada salah satu anggota wali songo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti yang telah disebutkan dimuka. Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan tanpa tela’ah (analisis) yang didasarkan pada dua hal, yaitu logika dan aqidah.
Pernyataan-Pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini (Dr. Abdul Munir Mulkhan) telah saya singgung dimuka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah salah seorang tokoh organisasi Islam di Indonesia (Muhammadiyah). Misalnya pernyataan yang menyebutkan “ngurusi Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya”. Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya gusti Allah) di daerah Magelang pada tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan. Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rasulallah SAW juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik dan secara ritual saja. Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslim harus memenuhi dua aspek, yaitu Hablumminallah wa hablum minannas (hubungan mahluk dengan Allah dan hubungan mahluk dengan sesamanya)
Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibandingkan mempelajari Fiqih atau ilmu agama lainnya. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara Fiqih, Sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleknya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar tauhid merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis (Dr. Abdul Munir Mulkhan) juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al-Qur’an : “Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh mempelajari Al-Qur’an”. Disini nampaknya Dr. Abdul Munir Mulkhan lupa bahwa untuk belajar Al-Qur’an ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien (Al-Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al-Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al-Qur’an yang memenuhi kedua syarat tersebut. Jangan belajar Al-Qur’an kepada pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah Gerakan untuk Melawan Islam.
Catatan Kecil
Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada buku Syekh Siti Jenar Karya Abdul Munir Mulkhan ini :
1) Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.2) Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan sistematika penulisan.3) Bab 1 diakhiri dengan daftar kepustakaan, bab lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab 1 hampir sama dengan yang tercantum dalam sumber pustaka.4) Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman 2 yang menyebut : ……….. sejarah Islam (Madjid, Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis : …….. Menurut Nurcholis Madjid (Khazanah, 1984, hlm 33).5) Pada bab 4, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buku karya Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis didalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini, bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup disitir saja.
Beberapa catatan lain memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor !.