Selasa, Juli 15, 2008

H. WAHYU WIBOWO, S.Kom





HALAQOH DI PINGGIR EMPANG
Perhelatan MTQ XXII tidak saja bisa menjadikan ajang silaturahmi antar kafilah, tetapi bisa antar panitia. Di propinsi Banten kemarin, dua kelompok panitia pameran di ajang MTQ bertemu kembali, setelah selama setahun mereka berpisah, diakibatkan adanya PMA tentang pemisahan Ditjen Bimas Islam dan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU).

Karena masing-masing harus mencari ’pemondokan’ untuk panitia pameran selama di Banten, kedua kepanitiaan pameran terpisah cukup jauh. Ditjen Bimas Islam berada di hotel Mandria, sekitaran alun-alun Banten, sedangkan Ditjen PHU bertempat di desa Petir, diperkirakan jaraknya mencapai 8 km.

Sore itu, setelah masing-masing pergantian sift, serombongan panitia pameran Ditjen Bmas Islam yang terdiri dari H. Wahyu Wibowo, S.Kom, H. Aswanto, H. Maskur, S,Ag dan Alatief bersilaturahmi ke ’pemondolan’ panitia pameran Ditjen PHU. Kedatangannya, disambut oleh H. Achmad Nidjam, Kasubag TU Dityanhaj, H. Wahyu Wibowo, staf Direktorat SIH, H. Jimmy, staf Kanwil Banten, dan beberapa staf Sekretariat Ditjen PHU. Pertemuan sore itu menjadi menarik ketika dilanjutkan dengan ’halaqoh’ di pinggir empang tempat pemancingan.

Halaqoh (kelompok bincang-bincang/diskusi;-red) yang pada awalnya tidak memfokuskan tema, berkembang menjadi serius setelah secara tidak sengaja pembicaraan mengerucut dengan tema revitalisasi KUA, dan sinergitas pengembangan sistem informasi teknologi dengan medan garapan KUA. Hal itu dianggap penting, karena pada tahun 2008 ini Ditjen PHU juga mengembangkan fungsi KUA sebagai penyuluh haji, berarti, terjadi kesatuan tugas dan fungsi di level tingkat kecamatan, demikian Wahyu Wibowo berargumentasi.

Menurut H. Achmad Nidjam, Kasubag TU Dityanhaj, memang pada dasarnya KUA cukup strategis dalam memberikan pelayanan umat Islam di kecamatan, untuk itu, ke depannya selain sebagai penyuluh haji, KUA juga bisa dioptimalkan sebagai ujung tombak pendataan jamaah haji, bahkan ada kemungkinan pendaftaran haji bisa dilakukan di KUA, sehingga mempermudah calon jamaah haji, khususnya calhaj di pedesaan, jelasnya.

Kalau melihat adanya kepentingan bersama untuk memberikan pelayanan kepada umat Islam, justru bisa dimungkinkan optimalisasinya melalui sinergitas pengembangan sistem informasi teknologi, demikian H. Wahyu Utomo menjelaskan.

”Gampangnya begini, Ditjen PHU menyiapkan infrastruktur jaringan online sampai KUA, karena Ditjen PHU memiliki anggaran dan dana yang cukup banyak, kemudian masing-masing unit diberikan kapling untuk pelayanan sesuai dengan bisnis prosesnya, misalnya Dityanhaj untuk proses SISKOHAT dan pernak-perniknya, Direktorat SIH, untuk proses pengendalian BPIH dan lain-lain, Sekretairat Ditjen PHU untuk proses pendataan dan informasi, Ditjen Bimas Islam untuk proses SIMKAH, Wakaf, Zakat dan penyebaran informasinya, saya rasa dengan sistem yang sinergi dan adanya kesepahaman bersama, pekerjaan kita lebih menarik dan terjalin ukhuwah Islamiyah yang semakin mantap”, jelas Wahyu Utomo.

”Memang, menurut pendapat saya, bimbingan umat Islam seharunya dapat disatukan, mosok rukun Islam yang lima secara literal berurutan dan tidak terpisah-pisah, setelah masuk di birokrasi dipecah-pecah, yang lucu lagi ibadah hajinya dipisah sendiri, yang kaitan dengan pembinaan syariah, zakat, wakaf diborongkan ke Ditjen Bimas Islam, kayaknya sistem pengorganisasian dan tata laksananya (ortala;-red) kurang paham”, demikian komentar H. Jimmy.

”Kita sebagai pegawai jangan menengok kebelakang, tapi yang penting kita coba berfikir ke depan, bagaimana kita sama-sama memikirkan cara memberikan pelayanan kepada umat Islam secara optimal”, jelas Achmad Nidjam.

”Kalau kita yang dibawah sudah mempunyai kesepahaman sinergitas pelayanan kepada umat Islam, saya kira sekat-sekat organisasi sudah tidak lagi menjadi kendala, apalagi Ditjen Bimas Islam dan Ditjen PHU pernah jadi satu atap, maka tidak msutahil revitalisasi KUA bisa dilaksanakan bersama dengan mengoptimalkan sistem informasi teknologi yang ada”, tambah Achmad Nidjam.

”Kalau gitu, kapan-kapan kita perlu ’jagongan’ lagi pak Nidjam, barangkali bisa merumuskan pengembangan sistek yang lebih detail”, H. Wahyu Utomo menambahkan.




Halaqoh, jagongan, diskusi, bincang-bincang bebas memang perlu, paling tidak akan menambah wawasan dan tambah ilmu, yang penting jangan segan-segan mencari ilmu kepada orang lain. (bowo/bi)

Tidak ada komentar: